Firman Allah SWT: Katakanlah: Aku berlindung kepada Tuhan yang menguasai subuh (1). Dari kejahatan makhluk-Nya (2). Dan dari kejahatan malam apabila telah gelap gulita (3). Dan dari kejahatan wanita-wanita tukang sihir yang menghembus pada buhul-buhul (4). Dan dari kejahatan pendengki apabila ia mendengki (5). Surat ini disebut Al-Falaq karena kata tersebut terdapat pada ayat pertama, yang antara lain bermakna waktu shubuh atau makhluq secara keseluruhan. Surat Al-Falaq merupakan salah satu dari al-mu’awwidzaat (surat-surat perlindungan) dimana Allah SWT memerintahkan orang-orang yang beriman agar senantiasa memohon penjagaan dan perlindungan kepada-Nya dari segala bentuk dan sumber kejahatan serta keburukan, baik yang tampak ataupun yang tersembunyi, yang diketahui ataupun yang tidak diketahui, secara umum ataupun secara khusus.
Adalah suatu hal yang istimewa ketika surat-surat tersebut secara khusus disebut sebagai surat-surat perlindungan, padahal semua surat atau ayat dalam Al-Qur’an tidak lain adalah perlindungan juga. Bahkan disebutkan dalam sebuah hadits bahwa setelah turunnya Al-Falaq dan An-Naas, Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam mencukupkan diri dengan keduanya saja dalam permohonan perlindungan dari keburukan dan kejahatan jin serta manusia (lihat hadits Abu Sa’id Al-Khudriy riwayat At-Tirmidzi, An-Nasaa-i dan Ibnu Majah).
Dalam sebuah hadits riwayat Al-Baihaqi, diceritakan bahwa surat Al-Falaq dan An-Naas diturunkan sebagai ruqyah bagi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam saat disihir oleh seorang Yahudi yang bernama Labid bin al-A’sham dengan sebelas buhul (simpul tali), dimana setiap kali dibacakan satu demi satu ayat-ayat dari kedua surat tersebut maka terlepaslah buhul-buhul itu satu persatu. Kisah tentang disihirnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ini sendiri terdapat dalam Shahih Al-Bukhari.
Dalam surat ini, demikian pula surat sesudahnya yaitu An-Naas, Allah memerintahkan kita semua untuk ber-isti’adzah dengan firman-Nya Qul, yang bermakna : Katakanlah. Ini berarti bahwa pengucapan dengan lisan merupakan bentuk terbaik dari permohonan perlindungan kepada Allah, demikian pula doa pada umumnya.
Pentingnya Isti’adzah
Perlu kita ketahui, permohonan dan doa kita kepada Allah pada dasarnya bisa dibedakan menjadi tiga: isti’anah (permohonan pertolongan), isti’adzah (permohonan perlindungan), dan istighatsah (permohonan keselamatan). Isti’anah adalah memohon kepada Allah agar memberikan kepada kita hal-hal baik dan syar’i yang kita inginkan. Isti’adzah adalah memohon kepada Allah agar menjauhkan dan menghindarkan kita dari hal-hal buruk yang bisa menimpa diri kita. Sedangkan istighatsah adalah memohon kepada Allah untuk melepaskan kita dari hal-hal buruk yang sedang terjadi dan menimpa diri kita.
Ketiga bentuk permohonan dan doa tersebut hanya boleh kita tujukan kepada Allah semata dan tidak kepada selain-Nya, karena doa adalah ibadah (sesuai dengan sabda Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam: ”Doa adalah ibadah” (HR. Muslim). Sementara ibadah hanya boleh kita tujukan kepada Allah saja sebagai bukti dan wujud kemurnian tauhid dan keikhlasan iman kita.
Isti’adzah, sebagai salah satu bentuk doa kita kepada Allah, merupakan sikap dasar kita dalam menghadapi berbagai keburukan dan kejahatan. Ini berarti, setiap kali kita mendapati kemungkinan ditimpa suatu keburukan atau kejahatan, kita hendaknya segera berlindung kepada Allah Yang Maha Melindungi dari keburukan dan kejahatan tersebut, disertai sikap dan tindakan menghindar serta menjauh darinya, sebagai bukti kesungguhan kita dalam ber-isti’adzah (memohon perlindungan). Sehingga dengan demikian, berdasarkan kaidah dan konsep isti’adzah tersebut, tidak dibenarkan kita berada dekat-dekat dengan sumber, tempat dan situasi keburukan atau kejahatan yang bisa membahayakan diri kita. Lebih-lebih lagi jangan sampai misalnya kita malah menantang-nantang atau bahkan mencari-cari suatu keburukan dan kejahatan. Ini selaras dengan himbauan Rasulullah sahallalahu ’alaihi wasallam: ”Janganlah kalian mengharap-harap bertemu musuh. Akan tetapi jika musuh telah datang menghampiri kalian maka bersikaplah tegar dan sabar (dalam menghadapinya).” (HR. Muttafaq ’alaih).
Kandungan Surat Ini
Dalam surat ini, Allah memerintahkan kepada kita sebagai makhluq yang lemah (QS An-Nisaa’ : 28) untuk banyak-banyak melakukan isti’adzah kepada-Nya dari segala bentuk kejahatan, yang telah tercakup dalam empat jenis kejahatan yang disebutkan didalamnya.
Pada ayat pertama dan kedua, Allah memerintahkan kepada kita untuk berlindung kepada-Nya dari kejahatan yang bersifat global, yang timbul dari seluruh makhluq-Nya. Yang demikian ini karena setiap makhluq memiliki sisi-sisi keburukan dan kejahatan disamping sisi-sisi kebaikan dan kemanfaatan, ketika berinteraksi antara satu dengan yang lainnya. Disini, permohonan perlindungan kepada Allah bertujuan untuk menghindarkan diri dari sisi-sisi keburukan dan kejahatan tersebut saja, agar yang tersisa hanyalah sisi-sisi kebaikan dan kemanfaatannya. Dan Allah Sang Pencipta tentu maha mampu untuk mengatur dan mengarahkan makhluq-Nya kepada kondisi yang menampilkan kebaikannya dan menghindarkan keburukannya.
Jika pada ayat pertama dan kedua kita diperintahkan untuk memohon perlindungan dari keburukan dan kejahatan segenap makhluq-Nya secara global, maka pada ayat-ayat berikutnya, permohonan perlindungan diarahkan kepada kejahatan-kejahatan dan keburukan-keburukan yang lebih khusus, yang mana hal ini menunjukkan penekanan bahwa kejahatan-kejahatan dan keburukan-keburukan khusus tersebut secara umum bersifat lebih jahat dan berbahaya, lebih lekat dengan kehidupan manusia, dan lebih sulit dihindari.
Pada ayat ketiga, Allah memerintahkan kepada kita untuk memohon perlindungan dari kejahatan malam apabila telah gelap gulita. Yang demikian ini karena malam itu mengandung berbagai kemungkinan timbulnya bahaya, kejahatan dan keburukan, yang meliputi kejahatan dan keburukan yang berasal dari manusia, jin dan syaithan, binatang buas, dan sebagainya.
Pada ayat keempat, Allah memerintahkan kepada kita untuk memohon perlindungan dari kejahatan para penyihir, karena sihir merupakan kejahatan yang sangat tersembunyi sehingga sulit diketahui dan dihindari. Oleh karena itu, kita harus senantiasa dalam kondisi terjaga dari kejahatan sihir tersebut dengan cara memiliki perisai tetap. Diantara perisai itu adalah surat Al-Falaq ini, disamping doa-doa isti’adzah yang lain. Para penyihir yang disebutkan dalam ayat ini adalah para penyihir wanita. Hal ini bukan berarti para penyihir laki-laki tidak jahat dan berbahaya, akan tetapi, sebagaimana dinyatakan oleh para ulama, secara umum sihir yang dilakukan oleh para penyihir wanita memang lebih kuat dan dahsyat.
Pada ayat terakhir, Allah memerintahkan kepada kita untuk memohon perlindungan dari kejahatan orang yang hasad (dengki), khususnya ketika sedang mendengki. Disebutkannya kejahatan dengki secara khusus dalam akhir surat ini dikarenakan dengki termasuk kejahatan yang sangat sulit untuk dihindari, disamping karena banyaknya bentuk-bentuk kejahatan yang muncul karenanya, seperti menolak kebenaran, memfitnah, kejahatan pandangan mata (al-‘ain), upaya mencelakakan orang lain, bahkan membunuh, serta kejahatan-kejahatan yang lainnya.
Akhirnya, kita bisa melihat bahwa kandungan surat ini merupakan salah satu manifestasi tauhid uluhiyah, dimana seorang mukmin harus senantiasa meminta dan berlindung hanya kepada Allah SWT semata.