“Sesungguhnya orang-orang yang berbakti itu (Al-Abrar) benar-benar berada dalam kenikmatan yang besar (surga). Mereka (duduk) di atas dipan-dipan sambil memandang. Kamu dapat mengetahui dari wajah mereka kesenangan mereka yang penuh kenikmatan. Mereka diberi minum dari khamar murni yang dilak (tempatnya), laknya adalah kesturi; dan untuk yang demikian itu hendaknya orang berlomba-lomba”. (Al-Muthaffifin: 22-26) Merupakan kecenderungan manusia bahwa ia ingin umggul atas orang lain dan berada pada posisi yang lebih tinggi atau lebih baik dalam kehidupannya. Jika kecenderungan ini tidak diarahkan, maka manusia cenderung melampiaskannya dalam urusan dunia dengan menghalalkan segala cara. Ayat ini ingin memberi gambaran tentang semangat berlomba yang benar yang ditunjukkan oleh orang-orang Abrar dalam urusan akhirat.
Makanya secara korelatif, ayat di atas merupakan jawaban dan arahan Allah agar potensi dan semangat untuk mengungguli orang lain hendaknya diarahkan pada urusan akhirat. Dimana sebelumnya di awal surah Al-Muthaffifin, Allah menggambarkan semangat berlomba-lomba yang ditunjukkan oleh orang-orang yang curang dalam urusan dunia sampai mereka tega berlaku culas dan menzalimi orang lain demi meraih keuntungan yang besar. Allah mengancam perilaku mereka dengan kecelakaan yang besar di akhirat kelak dan mendapat gelar buruk Al-Muthaffifin. “Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang (yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi”. (Al-Muthaffifin: 1-3)
Berdasarkan analisa maknanya, ayat ini menurut Ibnu Katsir senada dengan dua ayat lainnya dalam Al-Qur’an, yaitu firman Allah yang bermaksud: “Ini adalah suatu hari yang bermanfaat bagi orang-orang yang benar kebenaran mereka. Bagi mereka surga yang dibawahnya mengalir sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya; Allah ridha terhadapNya. Itulah keberuntungan yang paling besar.” (Al-Ma’idah: 119) dan firman Allah, “Sesungguhnya ini benar-benar kemenangan yang besar. Untuk kemenangan serupa ini hendaklah berusaha orang-orang yang bekerja”. (Ash-Shaffat: 60-61). Kedua ayat ini menunjukkan bahwa keberuntungan dan kemenangan yang besar adalah dengan meraih surga Allah swt. Dan hanya untuk meraih penghargaan itu, manusia memang diperintahkan untuk berlomba-lomba.
Menurut Ath-Thabari, sifat berlomba dalam urusan akhirat merupakan sifat puncak dan tertinggi dari orang-orang yang berbakti (Al-Abrar). Ia menjelaskan dalam tafsirnya, “Dan untuk meraih kenikmatan yang dicapai oleh orang-orang Abrar seperti yang digambarkan dalam ayat ini, hendaklah manusia berlomba-lomba. Dan berlomba tentunya dalam hal-hal yang bernilai dan berharga, bukan dalam urusan yang kecil atau sepele. Dan itulah asal arti kata “Al-Munafasah” yang berasal dari kata “nafis” yaitu hal yang bernilai dan berharga dan sangat menarik dan banyak dikejar oleh manusia. Makanya Muhammad Abduh menarik kesimpulan bahwa untuk kenikmatan yang tidak terhingga tersebut manusia sepatutnya tidak boleh mengalah dan harus berusaha lebih baik dan lebih dahulu dari orang lain.
Berdasarkan analisa bahasa menurut Al-Alusi, didahulukannya objek “Dan untuk yang demikian itu” atas perintah berlomba-lomba adalah untuk menarik perhatian atau sebagai batasan bahwa hanya untuk urusan akhirat hendaknya orang-orang itu berlomba-lomba, tidak untuk urusan yang lainnya. Apalagi perintah dalam ayat ini – menurut Ibnu Asyur- menggunakan “Lamul Amr” (huruf lam yang menunjukkan perintah) yang tidak digunakan kecuali untuk perintah yang sangat dituntut dan dianjurkan.
Secara hukum berdasarkan objeknya menurut Ibnu Hajar dalam Fathul Bari, berlomba dapat dibagi menjadi tiga; pertama, berlomba yang terpuji, yaitu dalam urusan amal ketaatan (akhirat). Kedua, berlomba yang tercela, yaitu dalam urusan kemaksiatan. Dan ketiga, berlomba yang dibenarkan, yaitu dalam hal-hal yang mubah. Dan memang perintah untuk berlomba-lomba dalam kebaikan merupakan benteng dari perilaku berlomba-lomba dalam kemaksiatan dan urusan dunia, karena demikian kecenderungan manusia akan berlomba mengejar kenikmatan dunia yang menggiurkan seperti yang dikhawatirkan oleh Rasulullah saw dalam haditsnya, “Bukanlah kefaqiran yang sangat aku khawatirkan terjadi pada kalian, tetapi aku sangat khawatir jika (kemewahan, kesenangan) dunia dibentangkan luas atas kalian, kemudian karenanya kalian berlomba-lomba untuk meraihnya sepertimana yang pernah terjadi pada orang-orang sebelum kalian. Maka akhirnya kalian binasa sebagaimana mereka juga binasa karenanya”. (Bukhari dan Muslim)
Pada realitasnya menurut Sayyid Qutb, tidak ada kebaikan sedikitpun pada tindakan dan perilaku berlomba-lomba dalam usaha mengejar dunia, bahkan sebaliknya justru akan menimbulkan konflik, kerusakan dan huru hara di atas muka bumi ini. Sedangkan sebaliknya, berlomba-lomba untuk meraih apa yang disediakan Allah swt akan mampu mengangkat dan membersihkan diri manusia. Karena bagaimananapun kenikmatan dunia itu hanya berlangsung sesaat dan sangat cepat sirna. Manakala apa yang ada di sisi Allah akan kekal dan berlangsung tanpa batas. “Apa yang di sisimu akan lenyap, dan apa yang ada di sisi Allah adalah kekal. Dan sesungguhnya Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang sabar dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan”. (An-Nahl: 96)
Pada tataran aplikasinya, ayat di atas dan ayat yang semakna dengannya merupakan motivasi terbesar bagi para sahabat dalam menjalankan ketaatan kepada Allah swt sehingga mereka senantiasa berlomba dan ingin lebih dahulu melakukan kebaikan dibanding saudaranya yang lain. Sebut saja misalnya Abu Bakar dan Umar bin Khattab ra. Ketika pada suatu hari Rasulullah saw meminta para sahabatnya untuk menginfakkan apa yang dimilikinya dari harta, makanan dan senjata yang bisa dimanfaatkan dalam perang. Maka spontan Umar bin Khattab berkata kepada dirinya, “Demi Allah, saya akan mendahului Abu Bakar dalam kebaikan ini”. Umar yakin bahwa dirinya mampu menginfakkan lebih baik dari Abu Bakar. Kemudian ia membagikan hartanya menjadi dua bagian; satu bagian untuk keluarganya dan satu bagian lagi diserahkan untuk Rasulullah saw. Rasulullah tersenyum bangga melihat perilaku sahabatnya dan memujinya. Namun tidak berapa lama kemudian, datanglah Abu Bakar dengan membawa seluruh hartanya. Rasulullah tersenyum bangga seraya bertanya kepadanya, “Lantas apa yang engkau sisakan untuk keluargamu?”. Dengan yakin dan penuh tawakkal, Abu Bakar menjawab, “Saya tinggalkan untuk mereka Allah dan RasulNya”. Demikianlah sikap orang-orang Abrar dari para sahabat terkemuka Rasulullah saw. Allah memuji mereka dalam firmanNya, “Dan orang-orang yang beriman paling dahulu, Mereka itulah yang didekatkan kepada Allah. Berada dalam jannah kenikmatan. Segolongan besar dari orang-orang yang terdahulu, dan segolongan kecil dari orang-orang yang kemudian”. (Al-Waqi’ah: 10-14). Demikianlah berlomba-lomba untuk meraih surga Allah adalah dengan bersegera melakukan kebaikan dan ketaatan, karena setiap muslim memang dituntut untuk berpacu membuka pintu-pintu kebaikan dan ketaatan kepada Allah swt.
Ahmad Asy-Syirbashi menuturkan tadabburnya terhadap ayat di atas dalam bukunya “Mausu’at Akhlaqul Qur’an”, bahwa sekarang ini manusia cenderung berbangga dan berlomba agar lebih kaya dari orang lain, lebih kuat, atau lebih tinggi kedudukannya daripada orang lain dan seterusnya. Mereka terus berbangga dan mengejar urusan duniawi dan hal-hal yang terbatas lainnya dengan penuh kesungguhan dan usaha yang maksimal. Padahal berbangga dengan hal-hal seperti ini sangat jauh dari kebenaran dan bertentangan dengan sikap orang-orang Abrar yang mendapat pujian Allah swt dan diabadikan kisahnya untuk dijadikan teladan. Saatnya untuk menjadikan ayat di atas dan petunjuk Allah lainnya sebagai motivasi untuk berlomba meraih kenikmatan yang terbesar dengan ikut menjadi peserta yang terdepan dalam setiap ajang lomba kebaikan yang dianjurkan oleh Allah dan RasulNya. Semoga implementasi ayat tersebut di atas mewarnai setiap langkah kehidupan kita agar terhindar dari perlombaan meraih kenikmatan duniawi yang cenderung mengabaikan orang lain dan terkadang merampas hak-hak mereka. Ditulis Oleh Dr. Atabik Luthfi