Setelah berpisah dengan Idul Fitri yang baru saja berlalu, insyaa-allah sebentar lagi kita akan dipertemukan kembali dengan hari raya kedua di dalam Islam, yakni Idul Adha, yang jika menurut hasil hisab, baik di Indonesia maupun juga di Tanah Suci Mekkah (berdasarkan kalender Ummul Qura) insya-allah akan jatuh pada hari Selasa, 15 Oktober 2013. Itulah dua hari raya yang dimiliki oleh kaum muslimin. Jika Idul Fitri terkait dan tergantung pada rukun ibadah shaum Ramadhan, maka Idul Adha terkait dan tergantung pada rukun ibadah haji ke Baitullah di Tanah Suci. Salah satu hikmah yang bisa kita petik dibalik pengaitan kedua hari raya tersebut dengan kedua rukun Islam itu adalah agar penyambutan dan peringatan kedua hari kegembiraan islami itu tetap dalam nuansa ibadah yang penuh kekhusyukan, dan didasari oleh komitmen syar’i yang tinggi.
YAUMUN NAHR
Idul Adha adalah nama lain dari Yaumun-Nahr yang merupakan “harinya jamaah haji” yang bertepatan dengan tanggal 10 Dzulhijah ketika jamaah haji sampai di Mina – setelah malamnya mabit di Muzdalifah, dan sehari sebelumnya wuquf di Arafah – untuk melempar jumrah Aqabah, menyembelih hadyu dan bercukur. Dan Yaumun-Nahr berarti hari penyembelihan karena amalan yang paling utama dan menonjol pada hari istimewa itu adalah menyembelih udhiyah atau hewan qurban (dan juga hewan-hewan yang lainnya selain qurban bagi jamaah haji). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda (yang artinya): “Tidak ada satu amal pun yang dilakukan seorang anak manusia pada Yaumun-Nahr yang lebih dicintai Allah selain mengalirkan darah (hewan qurban yang disembelih). Maka berbahagialah kamu karenanya” (HR. At-Tirmidzi, Ibnu Majah dan Al-Hakim dengan sanad yang shahih). Berdasarkan hadits tersebut, berqurban merupakan amalan yang paling istimewa yang tidak bisa digantikan oleh amalan-amalan lain pada hari istimewa itu, dan menyembelih udhiyah tetap lebih afdhal daripada bershadaqah yang senilai dengan harga hewan qurban, sebagaimana di-tarjih oleh banyak ulama seperti Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan lain-lain. Oleh karena itu – dalam rangka menyambut ‘Iedul Adha – patutlah bagi setiap orang Islam yang mampu agar mengikhlaskan niat, menguatkan tekad hati dan mempersiapkan diri untuk memprioritaskan pelaksanaan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ini yang sekaligus merupakan sunnah imam para muwahhidin (orang-orang yang mentauhidkan Allah), yakni Khalilullah Nabi Ibrahim ‘alaihis-salam (HR. At-Tirmidzi dan Ibnu Majah}.
IBADAH PERSEMBAHAN
Menyembelih udhiyah merupakan salah satu bentuk ibadah ritual yang hanya boleh dipersembahkan dan ditujukan dengan ikhlas kepada Allah semata. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya): “Maka dirikanlan shalat karena Tuhanmu, dan berqurbanlah (karena Tuhanmu pula)” (QS. Al-Kautsar [108]: 2). Dengan demikian prosesi menyembelih hewan qurban yang dilakukan sebagai ibadah ritual persembahan untuk Allah Ta’ala adalah salah satu bentuk representasi kemurnian iman dan tauhid seorang mukmin. Allah berfirman (yang artinya): “Katakanlah: “Sesungguhnya shalatku, ibadah sembelihanku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam; tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama berserah diri (kepada Allah)” (QS. Al-An’am [6]: 162). Dan sebaliknya memperuntukkan dan mempersembahkan sembelihan apapun kepada selain Allah adalah sebuah tindakan syirik yang dilaknat oleh Allah (lihat HR. Muslim). Dan memang penyembelihan hewan sebagai persembahan untuk selain Allah (yakni untuk berhala-berhala) merupakan salah satu bentuk ritual istimewa yang biasa dilakukan oleh orang-orang musyrik sepanjang sejarah. Sebagaimana ritual yang sama juga biasa dilakukan oleh para dukun dan penyihir sebagai bentuk persembahan kepada jin yang dimintai bantuan dalam aktivitas perdukunan dan penyihiran mereka. Atau itu juga biasa menjadi salah satu persyaratan yang mereka minta agar dilakukan oleh orang-orang yang mendatangi mereka untuk berbagai maksud dan tujuan, seperti pengobatan, perjodohan dan lain-lain. Apa yang sering kita dengar tentang adanya penanaman kepala kerbau, sapi, kambing atau yang lainnya dalam proses pembangunan rumah, jembatan dan proyek-proyek lainnya misalnya, hanyalah contoh dan bentuk lain dari ritual penyembelihan syirik tersebut. Kita juga tidak jarang mendengar adanya ritual mempersembahkan hewan-hewan tertentu dalam penanggulangan bencana-bencana alam yang banyak terjadi di Tanah Air. Mungkin juga ada yang melakukan hal semacam itu dalam upaya penanggulangan bencana lumpur Lapindo misalnya. Itu semua dan semacamnya adalah tindak kenaifan yang sangat tidak logis disamping merupakan penyimpangan akidah yang sangat memprihatinkan.
HIKMAH QURBAN
Sebagai persembahan untuk Allah, hewan qurban disyaratkan harus baik, sehat dan sempurna. Semakin baik dan sempurna hewan qurban seseorang, maka semakin baik dan sempurna pulalah nilai ibadah dan pahalanya di sisi Allah. Dan sebaliknya, tidak boleh atau tidak sah seseorang berqurban dengan hewan yang cacat dengan kecacatan yang nyata, seperti juling yang nyata, sakit yang nyata, pincang yang nyata, kurus yang nyata (lihat HR. Ahmad, Ash-habus Sunan dan Ibnu Hibban, dishahihkan oleh At-Tirmidzi), dan cacat-cacat sejenis lainnya. Dari sini kita mengambil pelajaran besar bahwa, apapun yang kita persembahkan untuk Allah dalam hidup ini haruslah kita lakukan dengan penuh totalitas, tidak setengah-setengah, dan bersifat sempurna yang tidak mengandung cacat, tentu sebatas kemampuan. Baik itu dalam hal shalat, puasa, zakat, infaq, haji, dakwah, jihad, berkorban dan lain-lain.
Dan karena sifatnya sebagai persembahan khusus untuk Allah itu pula, maka menurut jumhur ulama, tidak ada bagian manapun dari hewan qurban yang boleh dijual atau dijadikan sebagai upah jagal misalnya, termasuk kulitnya, bulunya dan bahkan kain penutup yang dipakaikan pada hewan qurban sebagai penahan cuaca panas dan dingin sejak seekor hewan telah ditetapkan sebagai udhiyah sampai saat disembelih. Karena sejak ditetapkan sebagai qurban yang dipersembahkan untuk Allah, maka hewan udhiyah itu telah murni menjadi “milik” Allah. Dan Allah Ta’ala – melalui Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam – hanya mengizinkan agar “milik”-Nya itu dikonsumsi oleh pequrban dan keluarganya, disimpan, dan dibagi-bagikan sebagai sedekah atau hadiah, dan tidak untuk dijual (HR.Muttafaq ‘alaih). Dan dari sini kita kita mendapatkan pelajaran besar bahwa, jika kita benar-benar telah menjual jiwa, harta dan segala milik kita kepada Allah (lihat QS. At-Taubah [9]: 111), yang berarti jiwa, harta dan semua milik kita telah murni menjadi ”milik” Allah, maka apapun yang kita lakukan terhadap apa-apa yang ada pada kita itu haruslah atas seizin dan perkenan Sang Pemilik, Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan bukan sekehendak dan semau kita sendiri.
ANTARA UDHIYAH DAN TADHIYAH
Ada hikmah lain yang sangat penting di balik syariat ibadah ber-udhiyah, yakni adanya keterkaitan yang sangat erat antara udhiyah (berqurban, menyembelih hewan qurban) dan tadhiyah (berkorban secara umum), baik secara bahasa maupun secara makna. Secara bahasa, udhiyah dan tadhiyah berasal dari kata dhahha yudhahhi yang berarti berqurban dan berkorban sekaligus. Adapun secara makna, ber-udhiyah adalah bagian dari tadhiyah, karena memang esensi dari ibadah qurban (ber-udhiyah) adalah pengorbanan itu sendiri. Apalagi jika kita mengingat bagaimana pada mulanya sunnah qurban ini harus dilaksanakan oleh Khalilullah Ibrahim ‘alaihis-salam, dimana beliau diperintahkan untuk berkorban dan berqurban dengan menyembelih putra tercinta beliau, Nabi Ismail ‘alaihis-salam, meskipun akhirnya ditukar dengan sembelihan kambing yang besar, setelah terbukti secara nyata ketaatan dan kesabaran beliau berdua dalam memenuhi perintah Allah (lihat QS. Ash-Shaaffaat [37]: 102-107). Maka ibadah ber-udhiyah, dengan demikian, akan menanamkan dalam diri kita dan diri setiap pequrban kecintaan dan semangat untuk selalu siap berkorban dengan apa saja yang kita miliki di jalan Islam, dakwah dan perjuangan, yang merupakan syarat untuk mencapai kemenangan Islam dan mengembalikan’izzah (kemuliaan) serta kekuatan kaum muslimin sebagai khairu ummah (sebaik-baik ummat). Maka marilah kita selalu ber-udhiyah (berqurban) dan ber-tadhiyah (berkorban) agar kita dan ummat kita tidak selalu menjadi atau dijadikan korban! Ingat, kita adalah ummat pequrban dan bukan ummat korban! (H. Ahmad Mudzoffar Jufri, MA)