Cara Menqodho’ Shalat

  • Sumo

Assalamualaikum Ustadz. Mohon bimbingannya, saya ingin menanyakan. Jika seorang istri yang sedang hamil namun baru mengetahui bahwa kewajiban sholat yang sengaja bolong-bolong atau ditinggalkan karena malas, hukumnya wajib diganti. Ini artinya hutang qadhanya sangat banyak.  Mohon bimbingan: Bagaimana cara menghitung yang harus diqadha dengan mempertimbangkan haid? Bagaimana sebaiknya dia menjalani kehidupan sehari-hari, ditambah dengan kondisi kehamilan?  Apa yang harus diutamakan? Apakah suaminya harus mengetahui hal ini (aibnya) agar bisa memaklumi atau mengantisipasi ketika misalnya kelelahan atau jatuh sakit atau bahkan keguguran karena mengganti kewajiban tersebut? 

Wa’alaikumussalaam wr. wb. Para ulama empat mazhab (Hanafiyah, Malikiyah, Syafiiyah dan Hanabilah) telah bersepakat bahwa hukum mengqadha’ shalat wajib yang terlewat adalah wajib.  Adapun tehnis atau cara meng-qodho’nya disesuaikan dengan kemampuan, bisa dicicil sesuai dengan kondisi, dasar wajibkan qodho’ tersebut adalah sesuai dengan pendapat Ulama’ madzhab sebagai berikut :

An-Nawawi (w. 676 H) salah satu imam dalam mazhab Asy-Syafi’iyah menuliskan di dalam kitabnya Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzdzab sebagai berikut : Orang yang wajib atasnya shalat namun melewatkannya, maka wajib atasnya untuk mengqadha’nya, baik terlewat karena udzur atau tanpa udzur. Bila terlewatnya karena udzur boleh mengqadha’nya dengan ditunda namun bila dipercepat hukumnya mustahab.

Ibnu Qudamah (w. 620 H) salah satu ulama rujukan di dalam mazhab Al-Hanabilah menuliskan di dalam kitabnya Al-Mughni sebagai berikut : Bila shalat yang ditinggalkan terlalu banyak maka wajib menyibukkan diri untuk menqadha’nya, selama tidak memberatkan  pada tubuh atau hartanya.

Ibnu Taimiyah (w. 728 H) salah satu tokoh besar dalam mazhab Al-Hanabilah menegaskan bahwa mengqadha’ shalat itu wajib hukumnya, meskipun jumlahnya banyak.

Bila shalat yang terlewat itu banyak jumlahnya maka wajib atasnya untuk mengqadha’nya, selama tidak memberatkannya baik bagi dirinya, keluarganya atau hartanya.

Dan tentunya seyogyanya semua diberitahukan kepada suami dengan cara yang bijak, agar suami memberikan motivasi.

Demikian, semoga Allah berkenan untuk memberikan kemudahan, taufiq dan ridho-Nya. Wallahu a’lam bishshawaab. (Agung Cahyadi, MA)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.