Cinta kepada harta hakikatnya sama dengan cinta kepada dunia. Menurut tabiatnya jiwa itu cinta dengan harta dan bagi yang memiliki harta akan senang jika hartanya bertambah banyak serta tidak ingin hartanya berkurang. Ini karena mereka menduga bahwa dirinya adalah pemilik asli harta tersebut. Dan lupa atau dibuat lupa oleh setan bahwa harta itu sesungguhnya adalah milik Allah SWT yang diberikan kepada siapa saja yang dikehendaki dan mengambilnya dari siapa saja yang dikehendaki. Selain itu, harta merupakan fitnah bagi manusia, kecuali bagi orang-orang yang tahu hakikat harta. Mereka diberi harta oleh Allah SWT, lalu mereka gunakan ke dalam hal-hal positif. Harta ada di genggam tangan mereka, namun tidak menembus hati mereka. Karena itu, mereka dipuji Allah SWT dalam Al-Qur’an, Allah SWT berfirman:“Dan barangsiapa dipelihara dari kekikiran dirinya mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (Al-Hasyr: 9).
Imam Abu Hanifah termasuk orang-orang yang mampu mengalahkan jiwa mereka, tidak ada kekasih selain Allah yang masuk ke hati mereka, dan mereka menolak tunduk kepada selain Dia. Khalifah Al-Mansur memerintahkan Abu Hanifah diberi subsidi sebesar sepulah ribu dirham dan orang yang ditunjuk untuk menjalankan tugas ini adalah Al-Hasan bin Quthubah.
Abu Hanifah sudah merasa uang sebanyak itu dikirim untuknya. Lalu, ia “puasa” tidak bicara dengan siapa pun. Ia seperti tak sadarkan diri. Sesuatu ketika, uang itu tiba dibawa utusan Al-Hasan bin Quhthubah ke rumah Abu Hanifah. Utusan Al-Hasan Quhthubah masuk kerumah Abu Hanifah dengan membawa uang tersebut namun orang-orang berkata, “hari ini, Abu Hanifah tidak bicara sepatah kata pun.” Utusan Al-Hasan bin quhthubah berkata, “Kalau begitu, apa yang mesti aku lakukan?” Orang-orang berkata kepada utusan Al-Hasan bin Quhthubah, “Terserah Anda sendiri.” Lalu, utusan Al-Hasan bin Quhthubah meletakan uang tersebut di salah satu sudut rumah. Uang sepuluh ribu dirham pun berada di tempat itu. ketika Abu Hanifah meninggal dunia, anaknya, Hamad, sedang berpergian. Ketika Hammad datang setelah kematian ayahnya, ia membawa uang sepuluh ribu dirham itu ke rumah Al-Hasan bin Quhthubah. Hammad berkata, “Aku temukan ayahku berwasiat kepada, ‘Jika aku telah dimakamkan, ambillah uang sepuluh dirham di pojok rumah, lalu bawah kepada Al-Hasan bin Quhthubah dan katakan kepadanya, inilah barang yang negkau titipkan kepadaku’.”
Abu Hanifah termasuk orang yang tahu hakikat harta, lalu berinteraksi dengannya berdasarkan pemahaman ini. Al-Hasan Al-Bashri berkata kepada orang-orang yang dibutakan oleh kerakusan dan hati mereka tertutup, lalu tidak tahu hakikat harta dan fitnahnya, serta mengira seluruh hartanya itu milik mereka, “Manusia berkata, ‘Ini hartaku. Ini hartaku.’ Padahal, harta Anda tidak lain apa yang telah Anda makan hingga habis, pakaian yang Anda kenakan hingga rusak, dan apa yang Anda berikan demi mengharapkan pahala kelak.”
Hakikat ini hanya dipahami orang-orang yang jiwa mereka tidak sudi terjerumus ke dalam “bangkai” (dunia), karena mereka terbiasa membawa jiwa mementingkab hal-hal besar. Jiwa mereka menempeldi hati burung hijau yang terbang melayang-layang di atas lahan surga. Dalam pandangan mereka, dunia tidak lebih dari bangkai dan pencari akhirat tidak layak mengarahkan obsesi kepadanya. Inilah yang dikatakan ibnu Al-Qayyim saat berkata, “Dunia adalah bangkai dan siang itu tidak mau menerkam bangkai.”
Orang-orang seperti di atas paham betul esensi dunia dan fitnahnya. Karena itu, mereka lebih mengutamakan akhirat daripada dunia. Mereka bandingkan antara ketidaklanggengan dunia dengan keabadian surga beserta kenikmatannya, lalu mereka memilih sesuatu yang abadi daripada sesuatu yang fana. Apa saja yang ada di dunia sifatnya temporer. Kelezatan juga bersifat sementara dan baru diperoleh setelah mengarungi seabrek kelelahan. Hakikat ini dijelaskan Ibnu Al-Jauzi saat berkata, “Di dunia ini, tidak ada orang yang lebih tolol dari orang yang mencari kelezatan dunia. Di dunia ini, sebenarnya tidak ada kelezatan. Yang ada ialah istirahat sejenak setelah penderitaan panjang.”