Kehidupan seringkali memaksa kita harus menempuh suasana lingkungan yang berbeda-beda. Berinteraksi dengan berbagai tipe manusia. Menelusuri beraneka problem dengan segala kemungkinan-kemngkinan di balik semuanya. Merasakan pahit getirnya segala keadaan dan situasi. Seharusnya saat-saat seperti itu janganlah sampai menambatkan hati pada selain kepada Allah. Iman dan tawakkal kepada-Nya justru harus menjadi pijakan dalam setiap perbuatan karena sudah tertanam dalam sanubari yang terdalam. Iman dan tawakal seolah telah menjadi nahkoda dalam kehidupannya.
Rasulullah saw pernah memberi nasehat kepada Ibnu Abbas yang ketika itu masih berusia belasan tahun: “Nak, aku ajarkan engkau beberapa kalimat. Jagalah Allah niscaya Allah menjagamu. Jagalah Allah niscaya engkau mendapatkan-Nya berpihak padamu. Jika engkau meminta maka mintalah kepada Allah. Jika engkau butuh pertolongan maka mintalah kepada Allah. Ketahuilah jika umat manusia berkumpul untuk memberi manfaat kepadamu, niscaya itu tidak beguna bagimu kecuali sesuatu yang telah Allah tentukan untukmu. Dan jika mereka berkumpul untuk menimpakan bahaya untukmu niscaya mereka tak akan dapat mendatangkan bahaya padamu kecuali dengan sesuatu yang telah Allah tentukan menimpamu. Pena telah diangkat. Lembarannya telah kering.”(HR. Ahmad, Hakim dan Thabrani)
Coba hayati secara mendalam. Begitu dahsyatnya untaian kata demi kata dalam wasiat Rasulullah saw ini. Muatan nasihat beliau merupakan motivasi besar untuk membantu seorang muslim memperkokoh kepribadiannya agar tak mudah terombang-ambing oleh fitnah hidup dan mampu menemukan solusi beraneka problem hidupnya.
Minimal ada dua hal penting yang harus kita jiwai dari nasehat beliau saw ini. Pertama, sejauh mana ketaatan kita kepada Allah, maka sebatas itu pula pertolongan Allah yang akan diberikan kepada kita. Atau balasan yang Allah berikan sesuai benar dengan jenis amalan kita. Maka kita dengan mudah bisa memperkirakan, bagaimana sikap Allah kepada kita? Jawabannya? Sesuai dengan sikap kita kepada Allah. Jangan pernah berharap kemuliaan dari Allah sementara kita tidak memuliakan agama-Nya. Mungkinkah kita mendapatkan perhatian Allah sementara kita tidak memperhatikan seruan-seruan-Nya? Apakah ketika kaum Muslimin sekarang menjadi bulan-bulanan, sasaran fitnah dan rekayasa busuk musuh-musuhnya, lalu kita mengatakan bahwa Allah tidak menghiraukannya dan membiarkannya terus berlangsung? Sementara pada saat yang sama kaum muslimin tidak menghiraukan agama Allah? Bahkan malah condong kepada paham-paham kekufuran? Semakin jauh dari ajaran-ajaran-Nya? Mari kita jawab dengan jujur.
Kedua, segala yang terjadi adalah atas kehendak dan izin Allah. Karenanya tidak ada yang perlu ditakutkan selama seseorang berada di jalan Allah. Anak-anak para salafussalih dahulu telah menerima dan meyakini perkara ini sehingga apapun yang mereka alami, pasti kepada Allah pertolongan dimohonkan. Dialah pemilik seluruh kekuatan dan tidak ada daya dan kekuatan kecuali Allah. Mereka yakin bersama kesulitan pasti ada kemudahan. Jadi kenapa harus khawatir terhadap gelombang hidup yang pasti bisa terlampaui? Tapi yang harus dihawatirkan adalah jika kita menjadi korban gelombang kehidupan. Yakni berburuk sangka (su’uzhan) pada Allah, menjauh dari-Nya, semakin melemahnya kepercayaan kepada-Nya. Mengapa harus bimbang dan ragu apalagi takut untuk menempuh resiko apapun yang akan menimpa? Justru yang harus ditakuti adalah bila resiko hidup itu bisa menggerogoti keimanan. Sejatinya selama berada di jalan Allah dan ketaatan kepada-Nya, kekhawatiran dan ketakutan mengarungi berbagai terpaan pahit getirnya kehidupan jangan sampai muncul menguasai diri.
Beginilah nilai-nilai keimanan yang ditanamkan dan dirawat oleh para salafussalih kepada anak-anak mereka yang masih kecil. Salah satu peristiwa menarik menjadi bukti, ketika sekumpulan anak-anak tengah bermain di sebuah jalan di kota Madinah. Umar bin khattab yang saat itu menjabat Amirul Mukminin melewati jalan tersebut. Seketika saja anak-anak itu berhamburan melihat kedatangan khalifah, kecuali satu anak. Ia adalah Abdullah bin Zubair. Umar kagum dengan sikapnya lantas ia bertanya: “Kenapa engkau tidak melakukan seperti yang dilakukan teman-temanmu?” Ia menjawab: “Saya tidak melakukan dosa apapun yang menyebabkan aku harus lari darimu. Dan aku tidak takut kepadamu sehingga aku harus memberi jalan padamu.”
Iman harus terus diurus, ditumbuhsuburkan, dipelihara kemudian dijaga agar tetap menguasai jiwa. Hanya inilah benteng tak terkalahkan. Inilah daya imun dari virus-virus fitnah dunia. Inilah yang membuat hati stabil, tenang dan selamat mengarungi gelombang hidup.
Ketika sakit menjelang wafatnya, Abdullah bin Mas’ud tetap yakin pada pendidikan iman yang ia tanamkan pada putra putrinya. Utsman bin Affan bertanya: “Apa yang engkau keluhkan?” “Dosa-dosaku”, ujar Ibnu Mas’ud. “Apa yang engkau inginkan?” tanya Utsman lagi. “Rahmat Rabbku”. Utsman lalu menawarkan harta benda. Namun Ibnu Mas’ud tak memerlukannya. “Bukankah pemberian itu akan berguna untuk keturunanmu jika engkau wafat?” kata Utsman. “Dengarkan saudaraku”, tegas Ibnu Mas’ud, “Apakah engkau khawatir anak-anak wanitaku menjadi fakir? Aku telah mengajarkan kepada mereka untuk membaca setiap malam surah Al-Waqi’ah karena aku mendengar Rasulullah saw. bersabda: ‘Barangsiapa membaca surah Al-Waqi’ah setiap malam maka ia tidak akan ditimpa kefakiran selamanya”. (HR.Ibnu Suni)
Anta hasbi… .Engkau cukup bagiku. Dan hati ini hanya untuk-Mu saja. Aku pasrahkan Diriku kepada-Mu sekiranya Engkau berkenan menerimanya. Aku tidak peduli kapan saja kasih sayang-Mu Engkau berikan kepadaku. Tidak sebatang kayu dapat merintanginya ( Syair Imam Syafi’i ). (Selamet Junaidi)