Hati manusia memang unik. Tidak hanya ia mudah berbolak-balik, namun ia juga bermacam-macam keadaannya. Dilihat dari keadaannya, hati manusia bisa dibedakan menjadi tiga macam. Pertama, hati yang bersih dan sehat. Inilah hati yang akan menyelamatkan seseorang di akhirat, yang disifati oleh Allah dalam firman-Nya: “(Itulah) hari dimana harta dan anak-anak tidak lagi berguna, kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih.” (QS Asy-Syu’ara: 88-89). Hati yang sehat adalah hati yang senantiasa menerima dan patuh kepada aturan-aturan Allah, dan pada saat yang sama juga senantiasa menjauhi larangan-larangan-Nya. Ia adalah hati yang sanggup mengendalikan hawa nafsu yang ada dalam diri.
Jika ia mencintai sesuatu maka cintanya itu pastilah karena Allah. Demikian pula bencinya kepada sesuatu hanyalah karena Allah. Jika ia memberi pastilah karena mengharap ridha Allah semata. Dan jika ia tidak memberi, itupun juga karena Allah. Ia adalah hati yang selalu hidup dan bergelora dengan berbagai amalan sunnah (nawafil) dalam kehidupannya, sebagaimana dituntunkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
Adapun hati yang mati adalah hati orang-orang kafir. Hati ini telah ditutup dan dikunci oleh Allah sehingga tidak bisa lagi menerima petunjuk. “Sesungguhnya orang-orang kafir sama saja bagi mereka apakah kamu beri peringatan atau tidak kamu beri peringatan, mereka tidak juga akan beriman. Allah telah mengunci hati dan pendengaran mereka, dan penglihatan mereka ditutup. Dan bagi mereka siksa yang amat berat.” (QS Al-Baqarah: 6-7). Itulah hati yang telah mengeras melebihi kerasnya batu, sebagaimana dinyatakan oleh Allah: “Kemudian setelah itu hati kalian menjadi keras seperti batu, bahkan lebih keras lagi. Padahal diantara batu-batu itu sungguh ada yang mengalir sungai-sungai dari padanya dan diantaranya sungguh ada yang terbelah lalu keluarlah mata air dari padanya dan diantaranya sungguh ada yang meluncur jatuh karena takut kepada Allah. Dan Allah sekali-sekali tidak lengah dari apa yang kalian kerjakan.” (QS Al-Baqarah: 74)
Diantara hati yang sehat dan hati yang mati ada hati yang sakit. Itulah hati kebanyakan dari kita. Hati kita memang tidak mati karena didalamnya masih ada cahaya keimanan, namun juga tidak sepenuhnya sehat. Selalu ada saja penyakit-penyakit yang menghinggapinya. Dalam hal ini, ada yang penyakitnya ringan saja sebagaimana seseorang yang sekadar menderita flu ringan. Dengan sedikit obat saja flu tersebut sudah bisa disembuhkan. Penyakit-penyakit ringan dalam hati akan segera sirna dengan banyaknya istighfar yang kita ucapkan, shalat lima waktu yang kita tegakkan, dan amalan-amalan kebaikan yang kita lakukan.
Namun sebagaimana orang yang menderita flu. Meskipun flu tersebut ringan, namun jika dibiarkan saja dan tidak pernah diobati, maka flu yang ringan itu bisa berubah menjadi flu yang berat atau penyakit lainnya yang lebih parah. Demikian pula penyakit-penyakit ringan yang ada dalam hati, jika tidak pernah kita obati maka akan berubah menjadi penyakit hati yang lebih parah. Karena itu, hendaknya kita senantiasa mengamati dan memperhatikan hati kita, sebelum penyakit-penyakit yang ringan berubah menjadi parah.
Kalau hati sudah menderita penyakit-penyakit hati yang parah, penyembuhannya memerlukan terapi yang bersifat khusus, sebagaimana penyakit yang parah dan kronis seringkali tidak bisa lagi disembuhkan dengan obat-obat yang biasa namun harus disembuhkan dengan terapi khusus dibawah pengawasan dokter spesialis.
Munculnya penyakit-penyakit hati, mulai dari yang ringan sampai yang parah, pada dasarnya disebabkan oleh kemaksiatan-kemaksiatan yang kita lakukan. Tidak ada satupun bentuk kemaksiatan kecuali pasti akan menjadi penyakit dalam hati kita. Secara khusus, ada empat perkara yang kelihatannya sepele akan tetapi sering menjerumuskan manusia pada berbagai bentuk kemaksiatan, yang akan menimbulkan penyakit-penyakit dalam hati kita. Empat perkara tersebut adalah banyak bicara (fudhul al-kalam), mengumbar pandangan mata (fudhul an-nazhar), banyak makan (fudhul ath-tha’am) dan salah pergaulan (fudhul al-mukhalathah).