Barangsiapa ingin selamat dari kehinaan dan pertanyaan (hisab) pada Hari Kiamat, ia harus meng-hisab dirinya di dunia sebelum di-hisab di akhirat. Itulah yang diwanti-wanti Allah Ta’ala pada kita saat berfirman,“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat).” (Al-Hasyr: 18). Umar bin Khaththab Radhiyallahu Anhu memahami makna ayat di atas dengan pemahaman mendalam. Ia berkata kepada rakyatnya, “Hisab-lah diri kalian sebelum kalian di-hisab, timbanglah diri kalian sebelum kalian ditimbang, dan bersiap-siaplah menghadapi Hari Kiamat.”
Generasi shabat punya tradisi meng-hisab diri mereka, karena takut ditanya Allah Ta’ala pada Hari Kiamat. Amir bin Abdullah berkata, “Aku pernah melihat dan bersahabat dengan sejumlah sahabat Rasulullah Shallallahu Alaihis wa Sallam. Mereka bercerita kepadaku bahwa orang paling beriman pada Hari Kiamat ialah orang yang paling sering meng-hisab dirinya.”
Pascasahabat, datanglah periode tabi’in yang mengerjakan apa yang tadinya dikerjakan generasi pertama Islam. Dikisahkan, Al-Hasan Al-Bashri menangis pada suatu malam, hingga membuat tetangga-tetangganya ikut menangis. Esok paginya, salah seorang tetangga datang kepada Al-Hasan Al-Bashri dan berkata kepadanya, “Tadi malam, engkau membuat keluarga kami menangis.” Al-Hasan Al-Bashri berkata kepada diriku, ‘Hai Hasan, barangkali Allah melihat sebagian aibmu, lalu berfirman kerjakan apa saja, tapi Aku tidak menerimanya sama sekali.”
Mereka hidup dengan muhasabah dan bahagia dengan kedalaman iman seperti itu. mereka tahu apa yang dikehendaki Allah Ta’ala pada mereka merupakan Al-Qur’an yang bergerak. Satu orang dari mereka sama seperti seribu atau lebih orang dari kita. Jika kita ingin kejayaan dikembalikan kepada kita, maka tidak ada pilihan selain menapaktilasi jejak-jejak mereka. Adakah di antara kita yang mau mengerjakannya?