Semua kita bergembira dan bersuka ria saat menyambut ‘Iedul Fithri. Memang, dibenarkan dan bahkan disunnahkan kita merayakan ‘Idul Fithri dengan hal-hal yang menyenangkan dan menggembirakan, termasuk misalnya dengan tampilan beragam permainan yang syar’i. Tapi yang perlu menjadi perenungan dan introspeksi kita adalah bahwa kegembiraan yang kita rasakan merupakan buah syukur kita kepada Allah yang telah mengkaruniakan taufiq kepada kita untuk mengoptimalkan pengistimewaan Ramadhan dengan amal-amal yang serba istimewa, dalam rangka menggapai taqwa. Dan bukan kegembiraan yang muncul karena merasa telah lepas dari Ramadhan yang disikapi sebagai bulan beban yang mengekang dan membelenggu!
Dalam menyambut ‘Iedul Fithri, disunnahkan bagi kita untuk banyak mengumandangkan takbir, tahlil, tasbih dan tahmid sebagai bentuk penegasan dan pembaharuan deklarasi iman dan tauhid. Itu berarti bahwa identitas iman dan tauhid harus selalu kita perbaharui dan kita tunjukkan, termasuk dalam momen-momen kegembiraan dan perayaan, dimana biasanya justru kebanyakan orang lalai dari berdzikir dan mengingat Allah.
Puasa Ramadhan dan ‘Iedul Fithri adalah ibadah kolektif, dimana semestinya seluruh kaum muslimim memulai puasa secara bersama-sama, mengakhirinya secara bersama-sama, dan bergembira dalam merayakan ‘Iedul Fithri juga secara bersama-sama, khususnya dalam satu wilayah tertentu. Tapi kaidah itu ternyata tidak mudah direalisasikan saat ini. Kita kadang masih berbeda. Ini memang realita yang harus kita sikapi dengan arif dan hikmah. Namun kita semua patut berharap dan juga harus berusaha agar hendaknya suatu saat bisa dicapai kata sepakat antar organisasi dan tokoh umat Islam untuk menyatukan penentuan awal dan akhir Ramadhan, Iedul Fithri serta ‘Iedul Adha.