Ikhlas Dalam Beramal

  • Sumo

Dari Umar bin Khattab dia berkata, saya mendengar Rasulullah saw bersabda, “(Nilai) amal itu tergantung niatnya. Dan setiap orang akan memperoleh (balasan amal) berdasarkan apa yang ia niatkan. Maka barangsiapa yang hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka berarti hijrahnya (bernilai sebagai hijrah)  karena Allah  dan Rasul-Nya. Tetapi barangsiapa hijrahnya karena kepentingan duniawi yang hendak ia raih, atau wanita yang hendak ia nikahi, maka nilai hijrahnyaya  hanya sesuai dengan niat hijrahnya itu.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim). Kata ikhlas menurut bahasa artinya murni, tidak bercampur dengan yang lainnya. Adapun menurut peristilahan, ikhlas artinya melakukan amalan dengan memurnikan maksud kita hanya untuk Allah Ta’ala, bukan dengan maksud agar mendapatkan pujian atau balasan dari manusia.

Mengapa Kita Harus Ikhlas?

Ada banyak alasan mengapa kita harus ikhlas. Pertama, keikhlasan merupakan salah satu syarat diterimanya amal (syarth qabul al-‘amal). Sebagaimana diketahui syarat-syarat diterimanya amal seorang mukmin adalah dilakukan dengan ikhlas dan juga benar. Mengenai firman Allah dalam QS Al-Mulk ayat 2: “(Allah ) Yang menciptakan kematian dan kehidupan untuk menguji kalian siapakah yang paling baik amalnya”, Imam Fudhail bin ‘Iyadh menafsirkan ahsanu’amalan dengan kata-katanya: “Jika kita beramal dengan ikhlas tetapi tidak benar niscaya tidak akan diterima. Demikian pula jika kita beramal dengan benar tetapi tidak ikhlas juga tidak akan diterima. Amal kita harus dilakukan dengan ikhlas sekaligus benar agar diterima oleh Allah Ta’ala“.

Syetan mula-mula selalu berusaha agar seseorang meninggalkan amal ibadah, namun jika usaha ini gagal, ia akan berusaha agar orang tersebut beribadah dengan cara yang tidak benar, misalnya dengan menjerumuskannya kedalam bid’ah, atau agar orang tersebut beribadah dengan tidak ikhlas.

Kedua, keikhlasan merupakan faktor utama yang bisa mendatangkan taufiq Allah (‘amil jalbi taufiqillah). Dengan berlaku ikhlas, kita akan mendapatkan limpahan barakah Allah. Demikian pula, ketika kita ikhlas maka Allah akan menyertai dan memberikan kemudahan kepada kita. Inilah taufiq dari Allah, yang diberikan kepada hamba-hamba-Nya yang ikhlas.

Ketiga, keikhlasan merupakan faktor istimewa yang bisa membuahkan keberhasilan dan kesuksesan (‘amil an-najah). Ketika kita ikhlas, Allah akan menyertai dan memudahkan kita. Inilah yang kemudian akan membawa kita kepada keberhasilan dan kesuksesan. Jika Allah yang menghendaki keberhasilan bagi kita, apakah ada yang bisa mencegahnya?

Keempat, keikhlasan adalah salah satu faktor utama penjaga keistiqamahan dalam amal dan ibadah. Karena jika seseorang beramal dan beribadah karena dorongan faktor riya’, misalnya karena ingin dilihat, ingin dipuji, dan seterusnya, yang jelas ingin ini dan itu dari manusia, maka amal dan ibadahnya itu akan otomatis berhenti ketika faktor-faktor itu semua tidak ada. Sedangkan jika amal dan ibadahnya ikhlas murni karena Allah, maka keistiqamahan pun akan terjaga, karena Allah selalu ada, dan terus mengawasi tanpa henti. 

Kelima, keikhlasan merupakan faktor yang bisa mendatangkan kekuatan (‘amil al-quwwah). Dikisahkan tentang seorang laki-laki ahli ibadah di zaman dahulu kala. Ketika ia mengetahui bahwa di desanya atau desa sebelah terdapat sebuah pohon yang dikeramatkan dan disembah oleh warga, iapun bergegas untuk menebang pohon tersebut, dengan niat ikhlas karena Allah. Di terngah jalan menuju pohon tersebut, ia dihadang oleh syetan/jin yang menyamar sebagai seorang laki-laki. Syetan itu berusaha menghalangi si ahli ibadah. Akhirnya terjadilah perkelahian yang dalam waktu singkat dimenangkan oleh si ahli ibadah. Namun sebelum si ahli ibadah meneruskan perjalanannya menuju pohon, syetan yang kalah tersebut tetap berusaha merayunya. Syetan menawarkan kepadanya bahwa jika ia menunda penebangan pohon tersebut, ia akan mendapati uang dibawah bantalnya setiap hari, yang bisa digunakan untuk menutupi kebutuhannya sehari-hari, sehingga tidak lagi menjadi beban dan tanggungan orang lain seperti biasanya. Si ahli ibadah memang miskin, maka iapun terkecoh dan akhirnya setuju dengan tawaran tersebut.

Selama beberapa hari, memang benar ia selalu mendapati setumpuk uang di bawah bantalnya, sesuai janji jin/syetan tersebut. Namun ternyata itu tidak berlanjut, sehingga pada hari-hari berikutnya, ia tidak lagi mendapati uang yang dijanjikan. Maka ia pun naik pitam. Ia merasa bahwa laki-laki yang sebetulnya jelmaan syetan/jin tersebut telah ingkar janji. Maka iapun mengambil kapaknya dan dengan marah bergegas menuju pohon untuk menebangnya. Namun di tengah jalan, ia dihadang lagi oleh si laki-laki jelmaan syetan/jin yang sama, dan yang berusaha menghalanginya. Akhirnya terjadilah perkelahian lagi antara keduanya, namun kali ini si ahli ibadahlah yang kalah. Setelah berhasil mengalahkan si ahli ibadah, syetan tersebut pun berujar, “Kemarin dulu kamu bisa mengalahkan aku sebab kamu berniat menebang pohon itu, semata-mata ikhlas karena Allah, namun kali ini kamu bisa dengan mudah aku kalahkan sebab kamu berniat menebang pohon itu demi uang”. Ini adalah sebuah kisah yang memberikan pelajaran kepada kita bahwa keikhlasan akan mendatangkan kekuatan, khususnya kekuatan rohani, bahkan juga termasuk kekuatan fisik.

Kapan Ikhlas Harus Ada?

Ikhlas tidak hanya harus ada dalam diri kita sebelum mengerjakan suatu perbuatan (qablal ‘amal), tetapi juga ketika mengerjakan suatu perbuatan (ma’al ‘amal), dan setelah mengerjakan suatu perbuatan (ba`dal ‘amal). Bisa jadi seseorang memiliki keikhlasan sebelum dan ketika beramal, tetapi jika sesudah beramal ia kehilangan keikhlasannya maka pahala amalnya bisa terhapus karenanya. Mari kita renungi firman Allah SWT berikut ini: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan Hari Kemudian. Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah dia bersih (tidak bertanah). Mereka tidak menguasai sesuatupun dari apa yang mereka usahakan; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.” (QS. Al-Baqarah: 264)

Bagaimana Ikhlas?

Seseorang dinilai telah ikhlas dalam amal ibadahnya, jika ia mendasarkannya pada tiga hal: al-mahabbah, ar-raja’, dan al-khauf. Al-Mahabbah (cinta) disini artinya beribadah atas dasar dorongan dan motivasi cinta kepada Allah, yang merupakan salah satu bukti, ekpresi dan implementasi keimanan yang ideal.  Ar-Raja (harap/pamrih) artinya beribadah atas dasar dorongan dan motivasi rasa harap pada karunia, rahmat dan imbalan yang baik dan banyak berlipat-lipat dari Allah. Dan itu meliputi tidak hanya balasan-balasan ukhrawi saja, tapi juga termasuk balasan-balasan duniawi sekaligus. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda (yang artinya): “Allah Ta’ala berfirman (dalam hadits qudsi, yang artinya): “Aku sesuai persangkaan hamba-Ku terhadap-Ku” (HR. Muttafaq ‘alaih). Dan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda (yang artinya): “Janganlah seseorang di antara kamu sekali-kali mati, melainkan dalam keadaan berprasangka (berharap) baik pada Rabb-nya (Tuhan-nya)” (HR. Muslim). Adapun Al-Khauf (takut) artinya beribadah atas dasar dorongan dan motivasi rasa takut pada Allah, yakni pada murka-Nya, pada adzab-Nya, pada neraka-Nya, pada ancaman-Nya, pada pembalasan buruk bagi si pelaku dari-Nya, dan selanjutnya. Dan itu juga tidak terbatas pada rasa takut akan pembalasan-pembalasan buruk di akherat saja, namun juga mencakup rasa takut akan pembalasan-pembalasan buruk di dunia.

Jadi beramal dan beribadah ikhlas karena Allah Ta’ala itu maksudnya, beramal dan beribadah karena dorongan rasa cinta (mahabbah) kepada-Nya, atau karena dorongan rasa harap (raja)  alias pamrih kepada segala rahmat, karunia dan pemberian dari Allah, baik yang bersifat ukhrawi maupun dun-yawi, atau karena motivasi rasa takut (khauf) terhadap semua bentuk pembalasan buruk (atas dosa-dosa) dari Allah, baik ukhrawi maupun dun-yawi.

Pamrih = Ikhlas?

Biasanya orang yang beramal dan beribadah karena pamrih ingin dapat sesuatu diantara kepentingan duniawi, akan dikatakan tidak ikhlas, karena berarti riya’. Itu benar jika pamrih-nya memang pamrih riya’. Tapi sebenarnya tidak semua pamrih riya’, melainkan ada pamrih yang justru bagian dari ikhlas, sehingga hukumnya ya tidak terlarang, malah dibenarkan dan bahkan diperintahkan serta diwajibkan! Jadi dibenarkan jika seseorang itu beramal dan beribadah, seperti shalat, puasa, sedekah, dan lain-lain, yang didorong oleh rasa pamrih ingin lulus ujian dengan nilai bagus misalnya (bagi pelajar dan mahasiswa), atau karena ingin untung banyak (bagi pedagang dan pebisnis), ingin dapat jodoh yang saleh/salehah (bagi pemudi/pemuda lajang), ingin segera beroleh momongan, dan seterusnya dan seterusnya.

Semua pamrih itu bisa termasuk kategori pamrih ikhlas jika memenuhi tiga syarat. Pertama, yang di-pamrih-kan (diharapkan dan diinginkan) bersifat dan berstatus hukum syar’i, yakni minimal berhukum mubah dan tidak melanggar syariah. Kedua, pamrih (harapan) harus benar-benar ditujukan dan digantungkan hanya kepada Allah semata, dan bukan kepada selain-Nya Yakni semua yang ingin didapat seseorang berupa kepentingan-kepentingan duniawi itu, harus diharap didapat sebagai rahmat dan karunia dari-Nya. Oleh karena itu penting sekali ia senantiasa mengiringi setiap pamrih dan harapannya itu dengan doa-doa permohonan kepada Allah Ta’ala, untuk menjamin dan memastikan bahwa, pamrih dan harapannya benar-benar ditujukan atau digantungkan kepada Allah. Dan ketiga, amal dan ibadah yang dilakukan dan ditempuh sebagai sarana (wasilah) ber-pamrih untuk mendapatkan semua yang diinginkan, haruslah bersifat dan berstatus hukum syar’i, berarti tidak dengan sarana amalan bid’ah atau tindak maksiat.    

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.