Isra’ Mi’raj Dan Solusi Langit

  • Sumo

Kaum muslimin memperingati peristiwa Isra’ Mi’raj setiap tanggal 27 Rajab. Dari peringatan isra’ mi’raj tersebut umat Islam bisa mengambil ibrah, hikmah, pelajaran, makna, pesan, misi dan semacamnya, bagi keimanan, keislaman, perjuangan dakwah, dan kehidupan kita secara umum. Isra’ Mi’raj terjadi pada saat beban tekanan perjuangan dakwah terhadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan juga para sahabat, telah benar-benar sampai dan mencapai puncaknya pada periode Mekkah. Khususnya dengan wafatnya dua orang pendukung dakwah Beliau yaitu Ummul Mukminin Khadijah radhiyallahu ‘anha dan pamanda Beliau Abu Thalib, yang kemudian dinamakan dengan ‘amul huzn.

Jadi ketika dinaikkan langit ketujuh dan Sidratil Muntaha itu, ibaratnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam membawa akumulasi dan tumpukan seluruh beban persoalan hidup dan ujian perjuangan dakwah dari muka bumi. Dan begitu Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam diturunkan kembali dari langit tertinggi ke bumi, langsung di malam berkah itu pula, dengan antara lain membawa syariat shalat fardhu lima waktu, maka seolah semua beban masalah itupun lepaslah sudah. Jadi hikmahnya, Rasululullah shallallahu ‘alaihi wasallam di-isra’ mi’raj-kan, dengan kehendak agung Allah SWT, adalah untuk “dihibur” dan sekaligus diberi solusi tuntas atas beragam beban persoalan hidup dan problematika dakwah di bumi.

Oleh karena itu, saat ada masalah, persoalan dan problem apapun dalam hidup ini, adukanlah semua beban masalah, persoalan dan problem hidup itu kepada Dzat Yang Diatas. Bahkan termasuk rezeki kitapun adukan kepada Yang Di Langit. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya): “Dan di langitlah terdapat rezekimu, dan terdapat (pula) apa yang dijanjikan kepadamu. Maka demi Tuhan langit dan bumi, sesungguhnya yang itu adalah benar seperti perkataan yang kamu ucapkan” (QS. Adz-Dzaariyat: 22-23). Sebagai oleh-oleh utama dari rihlah (perjalanan) bumi – langit yang penuh berkah, ibadah shalat juga ibarat mi’raj bagi setiap mukmin untuk menuju, menghadap dan mengadu kepada Allah. Dan boleh jadi karena begitu istimewanya cara pensyariatan itulah, maka shalat memiliki kedudukan yang sangat istimewa pula diantara seluruh kewajiban fardhu Islam. Disamping penempatannya di posisi urutan kedua langsung setelah dua kalimat syahadat, diantara lima rukun Islam, shalat adalah merupakan rukun amal dan ibadah paling vital, sebagai parameter utama dan pertama ketaqwaan serta kesalehan setiap muslim, dan sekaligus di saat yang sama juga menjadi benteng terakhir pertahanan keislaman seseorang. Maka Allah-pun berfirman (yang artinya): “Jadikanlah sabar dan shalat sebagai wasilah penolongmu (dalam segala kepentingan dan urusan). Sungguh shalat itu berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyuk (baik dalam shalat secara khsusus, maupun dalam hidup secara umum) (QS. Al-Baqarah: 45).

Sementara itu Rasululullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda (yang artinya): “Kumandangkanlah iqamah wahai Bilal. Dan buatlah kita rehat dengan shalat” (HR. Abu Dawud dan lain-lain). Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda (yang artinya): “Dan dijadikanlah penyejuk hatiku di dalam shalat” (HR. An-Nasaa-i dan lain-lain). Nah, bila rehat-nya Rasululullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan juga ketenteraman serta kesejukan hati Beliau, adalah justru di dalam shalat, lalu perenungannya adalah, serehat apa, setenteram apa dan sesejuk apa hati kita saat bermunajat kepada Allah Ta’ala dalam setiap shalat kita?

Dan sebagai penutup perenungan Isra’ Mi’raj ini, penting diingatkan bahwa, derajat maqam tertinggi seorang hamba di sisi Allah, adalah maqam totalitas ‘ubudiyah (penghambaan diri kepada-Nya). Karenanya, saat di-isra’ mi’raj-kan untuk bertemu, menghadap dan berdalog langsung dengan Allah di langit ketujuh dan Sidratil Muntaha itu, Rasululullah shallallahu ‘alaihi wasallam justru disebut dengan julukan ‘abdihi (hamba-Nya), dan tidak dengan julukan-julukan pemuliaan dan pengagungan lainnya. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya): “Maha suci Dzat Yang telah memperjalankan HAMBA-Nya pada suatu malam dari Al-Masjidil Haram ke Al-Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya, agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha mendengar lagi Maha mengetahui. (QS.Al-Israa’ : 1). (Ust. Ahmad Mudzoffar Jufri)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.