Jangan Marah

  • Sumo

Dari sahabat Abu Hurairah ra, bahwasanya seseorang pernah datang meminta nasehat kepada Rasulullah sholallahu alaihi wassallam dan berkata, “Berikanlah nasehat kepadaku.” Rasulullah sholallahu alaihi wassalam menjawab : “Janganlah engkau marah.” Orang itu pun mengulang-ulang pertanyaan yang sama dan Nabi sholallahu alaihi wassalam (tetap) menjawabnya, “Janganlah engkau marah.” (HR. Bukhori). Dalam kehidupan sehari-hari sering kita dengar dan jumpai fenomena orang yang sedang marah. Kemarahan bisa diakibatkan oleh dua faktor: internal maupun eksternal. Tiba-tiba saja seseorang marah-marah lantaran kurang sabar, merasa beban terlalu berat, bosan, merasa gagal, merasa tidak mampu atau sebab-sebab lain yang didominasi oleh emosi dan perasaan ketidakmampuan diri. Padahal sekiranya ia mau bersabar dan lebih bersungguh-sungguh akan dapat mengatasi persoalannya dengan baik.

Di sisi lain terkadang seseorang bisa marah besar karena faktor-faktor luar yang menekan, seperti sikap atasan yang kasar dan mengancam, peraturan dan lingkungan pekerjaan yang tidak nyaman, ancaman PHK dan kehilangan pekerjaan yang sudah di depan mata, ancaman hukuman atas suatu kesalahan yang pernah dilakukan dan sebagainya. Faktor luar ini bisa semakin memperburuk keadaan jika mentalitas diri tidak  terkendali dan akibatnya bisa fatal dan memporak-porandakan apa saja yang sudah direncanakan bahkan bisa meluas dan merugikan pihak lain.

Tidak sedikit akibat emosi yang tak terkendali, orang bisa saja melontarkan kata-kata keji, mencela, mengumpat, sumpah serapah, membanting dan merobek-robek barang berharga, melempar, merusak dan membakar gedung, melakukan tindakan kejam dan sadis, menyakiti bahkan menghilangkan nyawa orang lain atau melakukan tindakan bunuh diri. Persoalan bisa semakin panjang lantaran masalahnya sudah merambah ke wilayah yang lebih luas: antar keluarga, suku, organisasi dan seterusnya. Bisa dibayangkan, akibatnya pasti sangat dahsyat dan bahkan mengerikan. Inilah deretan bahaya nyata ketika seseorang sedang emosi dan marah.

Hadits di atas adalah salah satu nasehat penting yang melarang sikap marah dan menganjurkan sikap kesabaran dan pengendalian diri. Karenanya Rasulullah Saw bersabda, “Orang yang kuat itu bukanlah orang yang pandai bergulat, tetapi orang yang mampu mengendalikan dirinya ketika ia sedang marah.”

Penjelasan Hadits

Terdapat dua penjelasan mengenai siapa lelaki yang bertanya kepada Rasulullah Saw pada hadits di atas. Pertama adalah Abu Darda’ ra, sebagaimana riwayat Thabrani, dan kedua Jariyah Ibnu Qudamah ra sebagaimana riwayat Ahmad.

Hadits ini memberi arah yang sangat jelas bahwa marah merupakan sumber keburukan, sedangkan pengendalian diri adalah kunci kebaikan dan kesuksessan dunia dan akhirat. Dalan riwayat Imam Ahmad, seseorang yang bertanya itu berkata, “Setelah itu saya memahami, bahwa kemarahan mencakup seluruh kejahatan.” Artinya, jika tidak marah maka sebenarnya seseorang telah meninggalkan semua kejahatan.

Dalam satu riwayat disebutkan, bahwa seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah Saw “Perbuatan apakah yang paling mulia?” Rasulullah Saw menjawab, “Akhlak yang terpuji, yaitu janganlah kamu marah, meskipun kamu mampu melampiaskannya.”

Setiap muslim dituntut untuk berperilaku dan berakhlak islami, dan salah satu tanda ketaqwaan seseorang ada pada kemampuannya untuk mengendalikan sikap marah dan itulah sifat penghuni surga (QS. Ali Imran : 133-134).

Dikatakan “dewasa” jika seseorang mampu menahan diri dari sikap emosional. Ia mampu mengatasi gejolak jiwa dan akalnya lebih dari sekadar melampiaskan amarah dengan fisik dan mengandalkan otot. Apa yang kita saksikan selama ini melalui berbagai pemberitaan baik melalui media cetak maupun media elektronik berupa fenomena anarkisme yang dilakukan oleh sebagian masyarakat adalah gambaran ketidakdewasaan diri dalam bersikap dan bertindak, sehingga sikap tersebut bukannya menyelesaikan masalah tetapi malah menambah masalah.

Orang harus berpikir seribu kali kalau mau bertindak secara emosional, jika tidak ingin di kemudian hari sikap tersebut berbalik menjadi kendala besar yang menghambat dan menghancurkan semua cita-cita dan harapannya.

Banyak hal yang menyebabkan seseorang gampang marah: sombong, membanggakan diri, menghina orang lain, banyak bercanda, suka berdebat, ambisi terhadap harta dan kekuasaan, iri dan dengki dan banyak lagi faktor penyebab yang lainnya.

Sebagai kebalikan dari kebiasaan suka marah, hendaknya kita sedikit bicara dan banyak bekerja, serta memberian keteladaan dalam kebaikan. Adapun mencegah dan meredam marah bisa dilakukan dengan banyak cara, antara sebagai berikut.

Pertama, melatih dan membiasakan diri dengan berbagai akhlak terpuji seperti sabar, lemah lembut, tidak tergesa-gesa, dan lain-lain.

Kedua, mengingat-ingat dampak dari marah, keutamaan meredam marah dan keutamaan memaafkan kesalahan orang lain yang berbuat salah. Imam Ahamd, Abu Dawud, Tirmidzi dan Ibnu Majah meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw bersabda “Barangsiapa yang menahan amarah dan ia sebenarnya mampu untuk melampiaskannya, maka pada hari kiamat nanti ia akan dipanggil oleh Allah dihadapan semua makhluk-Nya, lalu ia disuruh memilih bidadari yang ia inginkan”

Ketiga, membaca ta’awudz (A’udzu billahi minasy syaithanir rajim). “Dan jika engkau ditimpa godaan syetan, maka berlindunglah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui” (QS. Al-A’raf : 200).

Keempat, mengubah posisi tubuh. Rasulullah Saw bersabda, “Jika salah seorang diantara kalian marah sementara dia berdiri, maka hendaklah ia duduk sehingga kemarahannya hilang. Jika belum juga hilang maka hendaklah ia berbaring.” (HR Ahmad dan Abu Dawud)

Kelima, menghentikan bicara, karena dengan tetap bicara sangat mungkin kemarahannya bertambah, atau ia mengucapkan perkataan yana akan ia sesali setelah kemarahannya reda. Rasulullah Saw bersabda, “Jika salah seorang diantara kamu marah maka diamlah.” Nabi Saw mengucapkannya tiga kali (HR, Ahmad, Tirmidzi, Abu Dawud)

Keenam, berwudhu, karena pada dasarnya marah adalah api yang membara dalam diri manusia, maka air akan memadamkan api tersebut. Rasulullah Saw bersabda, “Sesungguhnya kemarahan pada dasarnya adalah bara yang sedang membakar di hati anak Adam.” (HR Ahmad dan Tirmidzi) Beliau juga bersabda, “Sesungguhnya amarah itu dari setan, dan setan diciptakan dari api. Jika salah seorang diantara kalian marah maka hendaklah ia berwudhu.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud)

Meski demikian, ada kondisi-kondisi khusus dimana seseorang dibolehkan untuk marah, yaitu marah untuk membela agama Allah, dan untuk membela kehormatan seorang muslim yang diinjak-injak. Dalam kondisi seperti itu marah menjadi suatu tindakan yang terpuji. Allah SWT berfirman, “Perangilah mereka niscaya Allah akan menyiksa mereka dengan (perantaraan) teman-temanmu dan Allah akan menghinakan mereka dan menolong kamu terhadap mereka, melegakan hati orang-orang beriman dan menghilangkan kemarahan mereka.” (QS Taubah : 15)  Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Rasulullah Saw tidak pernah marah, namun jika larangan Allah dilanggar maka tidak ada sesuatu pun yang dapat meredam kemarahannya. (HR. Bukhori dan Muslim).

Akhirnya, semoga Allah menjauhkan kita semua dari sifat marah dan menjadikan kita lebih dewasa dalam segala hal. Amin. (A. Habibul Muiz)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.