Kafarat Hubungan Suami Istri Di Siang Ramadhan

  • Sumo

Pertanyaan: assalamualaikum, izin menanyakan jika pernah melakukan hubungan suami istri pada siang hari di bulan Ramadhan, siapa saja yang perlu membayar kafarat? apakah suami dan istri? atau suami saja? Selain itu, jika dilakukan sebanyak dua kali di hari yang berbeda, apakah harus membayar kafarat sebanyak dua laki juga atau bagaimana? Sekian, jazaakumullah khoiron katsiron.

Jawaban: Wa’alaikumussalaam wr wb. Hadits yang menunjukkan kewajiban kafaroh bagi yang berhubungan suami istri di siang hari Ramadhan adalah :

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ : بَيْنَمَا نَحْنُ جُلُوسٌ عِنْدَ النَّبِىِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذْ جَاءَهُ رَجُلٌ ، فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ هَلَكْتُ . قَالَ « مَا لَكَ » . قَالَ وَقَعْتُ عَلَى امْرَأَتِى وَأَنَا صَائِمٌ . فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ « هَلْ تَجِدُ رَقَبَةً تُعْتِقُهَا » . قَالَ لاَ . قَالَ « فَهَلْ تَسْتَطِيعُ أَنْ تَصُومَ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ » . قَالَ لاَ . فَقَالَ « فَهَلْ تَجِدُ إِطْعَامَ سِتِّينَ مِسْكِينًا » . قَالَ لاَ . قَالَ فَمَكَثَ النَّبِىُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، فَبَيْنَا نَحْنُ عَلَى ذَلِكَ أُتِىَ النَّبِىُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِعَرَقٍ فِيهَا تَمْرٌ – وَالْعَرَقُ الْمِكْتَلُ – قَالَ « أَيْنَ السَّائِلُ » . فَقَالَ أَنَا . قَالَ « خُذْهَا فَتَصَدَّقْ بِهِ » . فَقَالَ الرَّجُلُ أَعَلَى أَفْقَرَ مِنِّى يَا رَسُولَ اللَّهِ فَوَاللَّهِ مَا بَيْنَ لاَبَتَيْهَا – يُرِيدُ الْحَرَّتَيْنِ – أَهْلُ بَيْتٍ أَفْقَرُ مِنْ أَهْلِ بَيْتِى ، فَضَحِكَ النَّبِىُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى بَدَتْ أَنْيَابُهُ ثُمَّ قَالَ « أَطْعِمْهُ أَهْلَكَ »

“Suatu hari kami duduk-duduk di dekat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian datanglah seorang pria menghadap Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Lalu pria tersebut mengatakan, “Wahai Rasûlullâh, celaka aku.” Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Apa yang terjadi padamu?” Pria tadi lantas menjawab, “Aku telah menyetubuhi istri, padahal aku sedang puasa.” Kemudian Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Apakah engkau memiliki seorang budak yang dapat engkau merdekakan?” Pria tadi menjawab, “Tidak”. Lantas Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya lagi, “Apakah engkau mampu berpuasa dua bulan berturut-turut?” Pria tadi menjawab, “Tidak”. Lantas Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya lagi, “Apakah engkau dapat memberi makan kepada 60 orang miskin?” Pria tadi juga menjawab, “Tidak”. Abu Hurairah Radhiyallahu anhu berkata, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas diam. Tatkala kami dalam kondisi demikian, ada yang memberi hadiah satu keranjang kurma kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Kemudian Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Di mana orang yang bertanya tadi?” Pria tersebut lantas menjawab, “Ya, aku.” Kemudian Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Ambillah dan bersedakahlah dengannya.” Kemudian pria tadi mengatakan, “Apakah akan aku berikan kepada orang yang lebih miskin dariku, wahai Rasûlullâh? Demi Allâh, tidak ada yang lebih miskin di ujung timur hingga ujung barat kota Madinah dari keluargaku. ” Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu tertawa sampai terlihat gigi taringnya. Kemudian Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Berilah makanan tersebut pada keluargamu.” (HR.Bukhari)

Berdasarkan hadits tersebut, maka wajib bagi yang berhubungan intim di siang bulan Ramadhan untuk membayar kafarah seperti yang disebutkan dalam hadits:

(1) membebaskan satu orang budak, (2) jika tidak diperoleh, berpuasa dua bulan berturut-turut, (3) jika tidak mampu, memberi makan kepada 60 orang miskin.

Para ulama berbeda pendapat, apakah kaffaroh tersebut diwajibkan kepada suami istri atau hanya kepada suami saja?

Yang pertama menyatakan sang istri tidak dikenakan kafârah. Inilah pendapat yang paling shahih menurut ulama Syafi’iyah Para pengikut Imam Syafi’i dan mazhab Dawud dan ulama Zhahiriyah serta riwayat dari Imam Ahmad. Pendapat ini dikuatkan Imam an-Nawawi rahimahullah dan Ibnu Qudâmah rahimahullah pun cenderung kepada pendapat ini, karena tidak ada dalam hadits yang menunjukkan sang istri dikenakan kafârat juga. Sedangkan pendapat yang lain menyatakan bahwa sang istri dikenakan kafarat apabila melakukannya dengan sukarela tidak dipaksa. Inilah pendapat Imam Mâlik, Imam Ahmad dalam sebuah riwayatnya dan pendapat Imam asy-Syâfi’i rahimahullah. Alasannya karena sang wanita membatalkan puasanya dengan hubungan intim sehingga wajib dikenakan kafarat sebagaimana sang suaminya dan penjelasan hukum kepada sang suami adalah penjelasan juga untuk hukumnya, karena sama-sama melanggar pembatal puasa dan melanggar kesucian puasa. 

Dan tentunya kalau berhubungan istri tersebut dilakukan sebanyak dua kali dalam hari yang berbeda, maka kafaroh yang harus dijalankan juga sebanyak dua kali.

Demikian, semoga Allah berkenan untuk memberikan kemudahan, taufiq dan ridho-Nya. Wallahu a’lam bishshawaab. ‘Wassalaamu ‘alaikum wr wb. — Agung Cahyadi, MA

Sumber: www.konsultasisyariah.net

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.