Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam ingin mengajarkan bahwa malu merupakan salah satu prasyarat untuk ketakwaan. Ketika seseorang ingin melakukan suatu kesalahan atau maksiat dan perasaan malu, maka kemudian ada dalam hati mereka keinginan untuk melakukannya menjadi hilang. Karena Nabi SAW pernah mengatakan “Jika engkau tidak punya rasa malu, berbuatlah sesukamu” (HR. Bukhari), Begitu pula karena perasaan malu yang tinggi kepada Allah yang Maha Agung, maka keinginan untuk taat selalu lebih kuat daripada keinginan untuk bermaksiat kepada Allah. Malu yang dimaksud oleh Rasulullah disini bisa diartikan dua hal.
Pertama, malu kepada Allah, karena setiap perbuatan manusia sekecil apa pun dan detik per detik tentu tak akan lepas dari muraqabatullah (pengawasan Allah). Ketika Allah membenci setiap perbuatan maksiat seorang hamba, ketika itulah si hamba harus sadar bahwa kemurkaan Allah akan didapatkan kalau perbuatan itu terus dilakukan. Kedua, malu kepada manusia. Ini bukan berarti kita berubah menjadi menuhankan manusia itu sendiri, tetapi yang dimaksud di sini adalah perasaan malu ketika manusia lain mengetahui perbuatan tersebut. Sebab, secara manusiawi setiap orang yang melakukan kesalahan pasti ingin menyembunyikan dari orang lain, karena hati kecil manusia selalu dan akan selalu mengajak kepada perbuatan mulia.
Kata malu sendiri dalam bahasa arab adalah al-hayaa’, Syeikhul Islam Ibnu Taymiyah menyatakan bahwa kata al-hayaa’ sangat berhubungan erat dengan kata al-hayaat yang berarti hidup. Maka kehidupan yang sesungguhnya, yakni kehidupan yang diridhai Allah, kehidupan yang mendatangkan kemulian diri, kehidupan yang sarat dengan manfaat dan kebaikan, kehidupan yang membuahkan keharuman nama, kehidupan yang bahagia dan kehidupan yang menjadi jembatan penghantar menuju kebahagian, kesuksesan dan kemuliaan abadi di akhirat hanya bisa dijalani dan diraih oleh orang yang punya rasa malu.