Keadaan Orang-Orang Berbakti

  • Sumo

Screenshot_2017-03-07-12-45-36Sekali-kali tidak, sesungguhnya kitab orang-orang yang berbakti itu (tersimpan) dalam ‘Illiyyin. Tahukah kamu apakah ‘Illiyyin itu? (yaitu) Kitab yang bertulis,  Yang disaksikan oleh malaikat-malaikat yang didekatkan (kepada Allah).  Sesungguhnya orang yang berbakti itu benar-benar berada dalam kenikmatan yang besar (syurga), Mereka (duduk) di atas dipan-dipan sambil memandang.  Kamu dapat mengetahui dari wajah mereka kesenangan mereka yang penuh kenikmatan. Mereka diberi minum dari khamar murni yang dilak (tempatnya), Laknya adalah kesturi; dan untuk yang demikian itu hendaknya orang berlomba-lomba. Dan campuran khamar murni itu adalah dari tasnim, (yaitu) mata air yang minum daripadanya orang-orang yang didekatkan kepada Allah. (QS, Al Muthaffifiin: 18-28)

Lafal “kallaa” yang disebutkan pada awal segmen ini adalah untuk mencegah dari perbuatan sebelum­nya. Yaitu, mendustakan hari pembalasan sebagaimana yang disebutkan dalam firman Allah ayat 17, Kemudian dikatakan (kepada mereka), Inilah azab yang dahulu selalu kamu dustakan. “‘ Kemudian disudahi dengan perkataan kallaa ‘sekali-kali tidak’. Sesudah itu, dimulailah pembicaraan tentang orang-orang yang berbakti dengan menggunakan kalimat yang pasti dan mantap.

Apabila kitab orang-orang yang durhaka ter­simpan dalam “sijjiin”, maka kitab orang-orang yang berbakti tersimpan dalam “illiyyin”. Dan yang dimak­sud dengan al abraar ‘orang-orang yang berbakti’ itu ialah orang-orang yang patuh kepada Allah dan melaksanakan semua kebaikan. Mereka merupakan kebalikan dari orang-orang durhaka yang suka me­langgar dan melampaui batas. Lafal “illiyyin” mengisyaratkan dan mengesankan ketinggian yang berkebalikan dengan sijjiin” yang memberi kesan dan mengisyaratkan kerendahan. Sesudah itu, dikemukakan pertanyaan yang menun­jukkan ketidaktahuan yang ditanya dan kehebatan sesuatu yang ditanyakan itu, ‘Tahukah kamu apakah illiyyin itu?” Nah, ini adalah urusan yang berada di luar jangkauan ilmu dan pengetahuan manusia!

Dari membicarakan bayang-bayang yang mengesankan ini, pembicaraan kembali lagi kepada hakikat kitab orang-orang yang berbakti. Dikatakan bahwa ia adalah “Kitab yang bertulis, yang disaksikan oleh malaikat-malaikat yang didekatkan (kepada Allah). ”  Perkataan marqum ‘bertulis’ ini sudah disebutkan di muka. Di sini ditambahkan bahwa malaikat- ma­laikat yang didekatkan kepada Allah itu menyaksikan dan melihat kitab ini. Ditetapkannya hakikat ini di sini memberikan bayang-bayang kemuliaan, kesucian, dan ketinggian bagi kitab orang-orang yang berbakti. Karena, ia berada di tempat yang disaksikan oleh malaikat-malaikat yang didekatkan kepada Allah, malaikat-malaikat yang mulia pekerjaan dan sifat sifatnya. Inilah bayangan kemuliaan dan keutamaan, yang disebutkan dengan maksud memberikan peng­hormatan. Setelah itu, disebutkan keadaan orang-orangyang berbakti itu sendiri, sebagai pemilik kitab yang mulia tersebut. Diterangkan pula sifat-sifat kenikmatan yang mereka peroleh pada hari yang besar itu, “Sesungguhnya orang yang berbakti itu benar-benar ber­ada dalam kenikmatan yang besar (surga). (A1­ Muthaffifun: 22)

Ayat itu sebagai kebalikan dari neraka yang men­jadi tempat kembali orang-orang yang durhaka. “…Mereka (duduk) di atas dipan-dipan sambil meman­dang….”

Yakni, mereka berada di tempat yang terhormat, sehingga dapat memandang ke mana saja yang mereka sukai, tanpa menundukkan pandangan karena hina dan tanpa sibuk memandang sesuatu yang menyengsarakan. Mereka duduk di atas dipan-dipan, di pelaminan keluarga, dengan kelambunya yang indah. Gambaran yang dekat ini lebih halus dan merupakan lambang kenikmatan yang lebih halus bagi bangsa Arab (waktu itu) yang kehidupannya serba kasar. Adapun bentuk ukhrawinya nanti bagaimana, maka hanya Allah yang mengetahuinya. Karena bagaimanapun keadaannya, ia jauh lebih tinggi dari apa yang dikenal oleh manusia berdasarkan pengalaman dan gambaran-gambarannya. Dalam kenikmatan ini, mereka merasakan ke­nikmatan jiwa dan fisik, sehingga memancar ke­ceriaan dan tanda-tanda kegembiraan di wajah mereka yang dapat dilihat oleh siapa pun yang melihatnya,

“Kamu dapat mengetahui dari rajah mereka kesenangan hidup mereka yang penuh kenikmatan. (Al Muthaffifiin: 24) ‘Mereka diberi minum dari khamar murni yang dilak (tempatnya). Laknya dari kesturi. (Al Muthaffifiin: 25-26)

“Ar-rahiq”adalah minuman yang murni dan jernih, tidak mengandung kekeruhan dan kotoran. Disifati­nya minuman itu bahwa ia disegel tempatnya, yang segelnya berupa kesturi. Hal itu menunjukkan bahwa minuman tersebut sudah disediakan di dalam bejana. Sedangkan, bejana-bejana ini disegel dan ditutup, yang dibuka segelnya ketika diminum. Ini menunjukkan bayang-bayang penjagaan dan peme­liharaan minuman tersebut, sebagaimana dijadikan­nya segel atau laknya dari kesturi menunjukkan bahwa barang itu barang bagus dan mewah. Semua itu hanya bisa dimengerti manusia me­nurut batas-batas kebiasaan mereka di bumi raja. Ketika mereka sudah berada di sana, di taman surga, sudah tentu perasaan dan pengertian mereka akan sesuai dengan gambaran mereka yang bebas dari suasana bumi yang terbatas. Kemudian disebutkan sifat-sifat minuman itu dalam dua ayat berikut,

“Campuran khamar murni itu dari tasnim, (yaitu) mata air yang minum darinya orang-orang yang didekatkan kepada Allah.” (Al Muthaffifiin: 27-28)

Maksudnya, minuman khamar murni yang masih disegel itu dibukalah tempatnya. Kemudian dicampur dengan sesuatu yang bernama “tasnim”, yang diminum oleh orang-orang yang didekatkan kepada Allah. Sebelum selesai menyebutkan sifat-sifat mi­numan ini, disampaikan dan diberikanlah pengarah­an berikut, “Untuk yang demikian itu, hendaknya orang berlomba-lomba.” (Al Muthaffifiin: 26). Suatu kesan mendalam yang menunjukkan banyak.

Sesungguhnya, orang-orang curang yang mema­kan atau mengambil harta orang lain dengan cara batil, tidak mengira akan dihisab pada hari akhir. Mereka mendustakan hari perhitungan dan pem­balasan. Hati mereka ditutupi oleh dosa dan kemaksiatan. Sesungguhnya, mereka itu hanya berlomba-­lomba untuk mendapatkan kekayaan dan kesenang­an duniawi yang tak berharga. Mereka berlomba untuk mendapatkan bagian yang lebih besar dan lebih besar lagi. Karena itu, mereka berbuat zalim, durhaka, dosa, dan melakukan tindakan apa saja untuk mendapatkan kekayaan dan kesenangan duniawi yang segera sirna itu.

Tidak sepantasnya manusia berlomba-lomba untuk mendapatkan kekayaan yang rentang waktu­nya terbatas dan tak berharga ini. Sebenarnya, yang patut diperlombakan dan segera didapatkan ialah kenikmatan besar yang penuh kemuliaan dan ke­hormatan, Untuk yang demikian itu, hendaknya orang berlomba-­lomba.

Ini adalah pencarian yang pantas orang berlomba mendapatkannya. Ini adalah ufuk yang layak manusia bersegera datang ke sana. Ini adalah tujuan akhir yang layak diperebutkan. Orang-orang yang berlomba-lomba untuk men­dapatkan sesuatu dari kekayaan duniawi, betapapun besar, banyak, bernilai, dan agungnya, maka se­benarnya mereka hanya memperebutkan sesuatu yang remeh, sedikit, mudah lenyap, dan hanya se­mentara waktu. Pasalnya, dunia di sisi Allah tidaklah seimbang dengan sayap seekor nyamuk. Sedang­kan, akhirat itu berat sekali dalam timbangan-Nya. Kalau begitu, maka akhirat adalah suatu hakikat yang pantas diperebutkan dan diperlombakan.

Menariknya, berlomba dalam urusan akhirat akan mengangkat ruh semua orang yang berlomba itu. Sedangkan berlomba dalam urusan dunia akan menyebabkan ruh mereka merosotnya. Berusaha mendapatkan kenikmatan akhirat akan menjadikan bumi baik, makmur, dan suci bagi semua orang. Sedangkan berusaha mendapatkan kekayaan duniawi akan menjadikan bumi sebagai rawa dan lingkungan yang menjadi tempat makannya cacing. Atau, tempat binatang dan serangga yang memakan kulit orang-orang yang baik dan berbakti.

Berlomba untuk mendapatkan kenikmatan akhirat tidak akan membiarkan bumi gersang dan tidak produktif, sebagaimana bayangan sebagian orang yang menyeleweng. Karena, Islam menjadikan bumi sebagai ladang akhirat. Menjadikan pengurusan kekhalifahan di bumi dengan mengelola dan memakmurkannya dibarengi dengan perbaikan dan ketakwaan, adalah tugas setiap mukmin yang sebenarnya. Namun, mereka menghadapkan tugas kekhalifahan ini untuk mencari ridha Allah. Juga menjadikannya sebagai ibadah kepadanya untuk merealisasikan tujuan keberadaannya, sebagaimana ditetapkan Allah dalam firman-Nya, ‘TidaklahAku menjadikan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku. ” (Adz Dzaari­yaat: 51)

Firman Allah, “Untuk yang demikian itu, hendaklah orang berlomba-lomba”, sungguh merupakan pengarah­an agar manusia melirikkan pandangan dan hatinya ke belakang planet bumi yang tak berharga ini. Yakni, ketika mereka sedang memakmurkan dan mengelola serta mengangkat bumi ke ufuk yang lebih tinggi dan lebih suci daripada kubangan­-kubangan air yang berubah bau, warna, dan rasanya. Sedangkan, mereka sendiri bertugas membersih­kan dan menyucikan rawa-rawa itu.

Umat manusia di dunia ini terbatas, sedang umur­nya di akhirat tidak ada yang mengetahui ujungnya kecuali Allah. Kekayaan dan kesenangan dunia ini juga terbatas, sedang kesenangan-kesenangan di surga tak dapat dibatasi oleh pandangan dan bayang­an-bayangan manusia. Tingkat kenikmatan di dunia ini sudah dikenal, sedang tingkat kenikmatan di surga sana layak mendapatkan keabadian. Kalau begitu, bagaimana mungkin kita akan membandingkan medan dan tujuan masing-masing hingga akan memperhitungkan untung-ruginya menurut perhitungan yang biasa dilakukan manusia? Ingatlah, perlombaan yang sebenarnya adalah untuk menggapai kebahagiaan dan keuntungan akhirat.”… Untuk  yang demikian itu, hendaklah orang berlomba­ lomba.”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.