Islam sangat mengedepankan kemuliaan akhlaq. Bahkan, Islam memandang hukum dan akhlaq sebagai dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan. Buktinya, segala bentuk ibadah dalam Islam pasti memiliki orientasi akhlaq. Sholat, misalnya, dilakukan untuk mencegah diri dari perbuatan keji dan munkar. Zakat ditunaikan untuk menyucikan harta dan jiwa. Puasa dilakukan untuk mengendalikan nafsu dalam jiwa. Haji dilakukan untuk melatih diri berkorban, menjauhi perkataan yang buruk dan menjauhi kebiasaan berbantah-bantahan.
Tidak ada satupun bentuk ibadah kecuali bertujuan untuk meraih kesempurnaan akhlaq. Tidak heran jika Rasulullah bersabda, ”Sesungguhnya aku ini diutus hanya untuk menyempurnakan akhlaq yang mulia.”
Kemuliaan (‘izzah) pada dasarnya hanyalah milik Allah semata. Hanya saja, Allah kemudian juga memberikan kemuliaan tersebut kepada para rasul-Nya dan orang-orang yang beriman kepada-Nya. Dan kita diperintahkan untuk menjaga kemuliaan kita di hadapan orang-orang yang ingkar kepada-Nya, dengan cara bersikap tegas – bukan keras atau kasar – kepada mereka. Namun pada saat yang sama, Allah memerintahkan kita untuk saling berendah hati dan berkasih sayang terhadap sesama mukmin. Ini tidak berarti bahwa Islam mengajarkan kita untuk tidak mengasihi non muslim. Bahkan sebaliknya, Islam mendeklarasikan diri sebagai rahmatan lil ’alamin. Artinya, Islam adalah rahmat bagi semua manusia, baik muslim mapun non muslim, bahkan bagi binatang, tumbuhan, dan alam semesta seluruhnya.
Islam memandang bahwa ilmu sangatlah penting, karena ilmu akan mengarahkan kita pada amal yang benar. Amal tanpa didasari dengan ilmu besar kemungkinan akan salah, menyimpang, dan bahkan menimbulkan mudharat dan kerusakan. Karena sedemikian utamanya ilmu itulah, Allah pun mengangkat derajat orang-orang mukmin yang berilmu beberapa derajat. Dan Rasulullah juga mewajibkan umatnya untuk senantiasa menuntut ilmu sepanjang hayat, mulai dari buaian sampai masuk ke liang lahat. Namun ilmu saja tanpa amal sama dengan omong kosong. Islam memandang bahwa ilmu mesti membuahkan amal shalih. Dan kelak pada Hari Pengadilan, Allah akan meminta pertanggungjawaban setiap orang yang memiliki ilmu. Islam juga membenci orang-orang yang hanya berbicara tetapi tidak mau berbuat. ”Wahai orang-orang yang beriman, mengapa kalian mengatakan apa yang tidak kalian perbuat. Amatlah besar kebencian di sisi Allah bahwa kalian mengatakan apa-apa yang tidak kalian kerjakan.” (QS Ash-Shaff: 2-3)
Islam menganjurkan umatnya untuk bekerja keras, dan mencela orang yang hanya duduk berdoa di masjid agar uang turun dari langit sedangkan ia malas bekerja. Namun Islam juga memerintahkan agar kita selalu berdoa pada saat kita bekerja. Ketika kita berdoa, kita berharap kepada Allah. Kita pun diperintahkan untuk senantiasa optimis ketika berdoa. Inilah Islam yang memerintahkan keseimbangan antara berusaha dan berdoa, antara kerja dan harapan.
Di akhir Surat Ali ’Imran, Allah mendeskripsikan ulul albab sebagai berikut: “(Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.” Demikianlah Islam, yang senantiasa memerintahkan keseimbangan antara dzikir dan fikir, antara hati dan otak, antara imtaq (keimanan dan ketaqwaan) dan iptek (ilmu pengetahuan dan teknologi). (abr)