Dalam sejarah ulama salaf, diriwayatkan bahwa khalifah rasyidin kelima, Umar bin Abdil Aziz dalam suatu shalat tahajjudnya membaca ayat 22-24 dari Surat Ash-Shoffat (yang artinya):“(Kepada para malaikat diperintahkan): ‘Kumpulkanlah orang-orang yang zhalim beserta teman sejawat mereka dan sembah-sembahan yang selalu mereka sembah selain Allah, maka tunjukkanlah kepada mereka jalan ke neraka. Dan tahanlah mereka di tempat perhentian karena sesungguhnya mereka akan ditanya (dimintai pertanggungjawaban).” Beliau mengulangi ayat tersebut beberapa kali karena merenungi besarnya tanggung jawab seorang pemimpin di akhirat bila telah melakukan kezhaliman.
Dalam riwayat lainUmar bin Khatab r.a. mengungkapkan besarnya tanggung jawab seorang pemimpin di akhirat nanti dengan kata-katanya yang terkenal: “Seandainya seekor keledai terperosok di kota Baghdad nicaya Umar akan dimintai pertanggungjawabannya, seraya ditanya: Mengapa tidak meratakan jalan untuknya?”
Itulah dua dari ribuan contoh yang pernah dilukiskan para salafus shalih tentang tanggung jawab pemimpin di hadapan Allah kelak.
Pada prinsipnya tanggung jawab dalam Islam itu berdasarkan atas perbuatan individu saja sebagaimana ditegaskan dalam beberapa ayat seperti ayat 164 Surat Al-An’am (yang artinya): “Dan tidaklah seseorang membuat dosa melainkan kemudharatannya kembali kepada dirinya sendiri dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain.” Demikian pula dalam Surat Al Mudatstsir ayat 38 dinyatakan (yang artinya): “Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya.”
Akan tetapi perbuatan individu merupakan suatu gerakan yang dilakukan seseorang pada waktu, tempat dan kondisi-kondisi tertentu yang mungkin bisa meninggalkan akibat atau pengaruh pada orang lain. Oleh sebab itu apakah tanggung jawab seseorang terbatas pada amalannya saja ataukah bisa melewati batas waktu yang tak terbatas bila akibat dan pengaruh amalannya itu masih terus berlangsung mungkin sampai setelah dia meninggal?
Seorang yang cerdas selayaknya merenungi hal ini sehingga tidak meremehkan perbuatan baik sekecil apapun dan tidak gegabah berbuat dosa walau sekecil biji sawi. Mengapa demikian? Boleh jadi perbuatan baik atau jahat itu mula-mula amat kecil ketika dilakukan, akan tetapi bila pengaruh dan akibatnya terus berlangsung lama, bisa jadi akan amat besar pahala atau dosanya. Allah SWT berfirman (yang artinya): “Kami menuliskan apa-apa yang mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka tinggalkan.” (QS Yaasiin: 12)
Ayat ini menegaskan bahwa tanggang jawab itu bukan saja terhadap apa yang diperbuat oleh seseorang akan tetapi melebar sampai semua akibat dan bekas-bekas dari perbuatan tersebut. Orang yang meninggalkan ilmu yang bermanfaat, sedekah jariyah atau anak yang sholeh, kesemuanya itu akan meninggalkan bekas kebaikan selama masih berbekas sampai kapanpun. Dari sini jelaslah bahwa orang yang berbuat baik atau berbuat jahat akan mendapat pahala atau menanggung dosanya ditambah dengan pahala atau dosa orang-orang yang meniru perbuatannya. Hal ini ditegaskan dalam Surat An-Nahl: 25 (yang artinya): “(Ucapan mereka) menyebabkan mereka memikul dosa-dosanya dengan sepenuh-penuhnya pada hari kiamat dan sebagian dosa orang yang mereka sesatkan yang tidak mengetahui sedikitpun bahwa mereka disesatkan. Ingatlah, amat buruklah dosa yang mereka pikul itu.”
Di sini kita merenung sejenak seraya bertanya: “Apabila yang memerintah kejahatan atau kedurhakaan itu seorang pemimpin yang memiliki kekuasaan penuh, apakah dia saja yang akan menanggung dosanya dan dosa rakyatnya karena mereka dipaksa? Ataukah rakyat juga harus menaggung dosanya walau mereka melakukannya dibawah ancaman paksaan tersebut?” Menurut hemat saya, seorang penguasa dianggap tidak memaksa selama rakyat masih bisa memiliki kehendak yang ada dalam dirinya. Perintah seorang pimpinan secara lisan maupun tulisan tidak berarti melepaskan seorang bawahan dari tanggungjawab atas semua perbuatannya. Al-Quran mencela orang-orang yang melakukan dosa dengan alasan pimpinannya menyuruh berbuat dosa. Allah menyatakan sebagai berikut: “Pada hari ketika muka mereka dibolak-balikkan dalam neraka, mereka berkata, ‘Alangkah baiknya andaikata kami taat kepada Allah dan taat pula kepada Rasul.’ Dan mereka berkata, ‘Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah mentaati pemimpin-pemimpin dan pembesar-pembesar kami, lalu mereka menyesatkan kami dari jalan yang benar.” (QS Al-Ahzab 66-67).
Allah membantah mereka dengan tegas: “Harapanmu itu sekali-kali tidak akan memberi manfaat kepadamu pada hari itu karena kamu telah menganiaya dirimu sendiri. Sesungguhnya kamu bersekutu dalam adzab itu.” (QS Az-Zukhruf: 39).
Dari sini jelaslah bahwa pemimpin yang dzalim tidak akan bisa memaksa hati seseorang kendati mampu memaksa lahiriyahnya. Oleh sebab itu rakyat atau bawahan pun harus bertanggung jawab terhadap akidahnya dan perbuatannya kendati disana ada perintah dan larangan pimpinan.
Berbeda dengan hukum paksaan yang menimpa orang-orang lemah yang ditindas penguasa yang mengancam akan membunuhnya dan memang bisa dilaksanakan. Hal ini pernah terjadi pada masa awal Islam di Makkah dimana orang yang masuk Islam dipaksa harus murtad seperti Bilal bin Rabbah, keluarga Yasir dan yang lainnya. Mereka dipaksa menyatakan kekufuran. (lihat QS An-Nahl: 106 dan QS An-Nisa’: 97-99)
Tanggung jawab seorang berkaitan erat dengan kewajiban yang dibebankan kepadanya. Semakin tinggi kedudukannya di masyarakat maka semakin tinggi pula tanggung jawabnya. Seorang pemimpin negara bertanggung jawab atas perilaku dirinya, keluarganya, saudara-saudaranya, masyarakatnya dan rakyatnya. Hal ini ditegaskan Allah dalam firman-Nya: “Wahai orang-orang mukmin, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka.” (QS At-Tahrim: 6) Sebagaimana juga ditegaskan oleh Rasululah saw: “Setiap kamu adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya.”
Tanggung jawab vertikal ini bertingkat-tingkat, tergantung levelnya. Kepala keluarga, kepala desa, camat, bupati, gubernur, dan kepala negara, semuanya akan dimintai pertanggungjawaban sesuai dengan ruang lingkup kepemimpinannya. Seorang mukmin yang cerdas tidak akan menerima kepemimpinan itu kecuali dengan ekstra hati-hati dan senantiasa akan memperbaiki dirinya, keluarganya dan semua yang menjadi tanggungannya. Para salafus shalih banyak yang menolak jabatan sekiranya ia khawatir tidak mampu melaksanakan tugasnya dengan baik.
Pemimpin dalam level apapun akan dimintai pertanggungjawabannya di hadapan Allah atas semua perbuatannya, disamping seluruh apa yang terjadi pada rakyat yang dipimpinnya. Baik dan buruknya perilaku dan keadaan rakyat tergantung kepada pemimpinnya. Sebagaimana rakyat juga akan dimintai pertanggungjawabannya ketika memilih seorang pemimpin. Bila mereka memilih pemimpin yang bodoh dan tidak memiliki kapabilitas serta akseptabilitas sehingga kelak pemimpin itu membawa rakyatnya ke jurang kedurhakaan, rakyat juga dibebani pertanggungjawaban itu.
Seorang penguasa tidak akan terlepas dari beban berat tersebut kecuali bila selalu melakukan kontrol, mereformasi yang rusak pada rakyatnya, menyingkirkan orang-orang yang tidak amanah dan menggantinya dengan orang yang shalih. Wallahu a’lam (Prof. Dr. H. Achmad Satori Ismail, MA)