Saudaraku, mohon maaf, bahwa kami yang memilih untuk tetap di rumah selama covid-19 belum pasti telah berhenti mewabah, bukan berarti kami takut mati. Kami yang memilih untuk tetap di rumah selama masa tersebut, bukan berarti kami tidak bersedih. Sungguh, kami yang memilih untuk tinggal di rumah, sangatlah bersedih, karena harus berpisah untuk sementara dengan rumah Allah yang tentu sangat kami cintai itu. Kami yang memilih tetap di rumah, bersedih karena harus menahan diri untuk tidak bertemu dengan sahabat-sahabat kami yang shalih. Kami yang memilih tetap di rumah, sesungguhnya hanya ingin mengupayakan agar virus ini tidak semakin mewabah.
Karena semua kita tahu, bahwa virus ini akan mudah mewabah dengan banyaknya interaksi dengan sesama. Sungguh kami sangat peduli dengan kesehatan untuk semua, dan bukan semata ingin menyelamatkan diri sendiri, dan oleh karena itulah kami memilih untuk tinggal di rumah. Begitulah kira-kira yang dilakukan shahabat Amr bin Ash dan rakyat Syam dengan tidak keluar dari negeri Syam di masa kekhalifahan Umar bin Khaththab saat di Syam sedang terjadi wabah tha’un, karena khawatir akan menyebarnya wabah tersebut ke daerah yang lebih luas lagi. Kami yang memilih tetap di rumah, juga tetap selalu bermunajat, agar Allah SWT berkenan untuk segera mengangkat wabah ini.
Saudaraku. Apakah tidak lebih baik dalam kondisi seperti ini, kita semua untuk senantiasa saling berdoa bagi kebaikan bersama, meskipun kita berbeda pandangan dalam mensikapi perihal virus ini. Karena doa seorang muslim untuk saudaranya yang lain pada hakikatnya adalah doa untuk diri sendiri. Nabi SAW bersabda: “Tidak ada seorang muslim pun yang mendoakan kebaikan bagi saudaranya (sesama muslim) yang berjauhan, melainkan Malaikat akan mendoakannya pula : ‘Dan bagimu kebaikan yang sama.” (HR. Muslim)
Sesungguhnya, dengan tetap tinggal di rumah, kami hanya mengikuti fatwanya para Ulama kami, yang telah mengeluarkan fatwa tentang hal ini? Allah SWT berfirman : “Maka bertanyalah pada ahli dzikir (ahli ilmu), jika kalian tidak mengetahui.” (QS. Al Anbiya : 7). Alangkah baiknya, disaat kita berbeda pandangan dengan saudara kita yang lain, kita tetap bisa menjaga lisan kita dengan tidak mudah menyalahkan sesama apalagi mencela. Kami yang memilih untuk berdiam di rumah, bukannya tidak mengetahui, bahwa : “Shalat berjama’ah itu lebih utama 27 derajat dari Shalat sendirian.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Namun kami juga ingin mentaati Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam yang juga memerintahkan kita untuk berikhtiar menjauhi wabah sebisa mungkin. Beliau bersabda : “Dan larilah kalian dari kusta sebagaimana kalian lari dari singa!” (HR. Bukhari). Dan banyak lagi landasan syar’i yang kami jadikan alasan, kenapa kami harus memilih untuk berdiam dirumah, diantaranya Firman Allah : “..dan janganlah kalian menjatuhkan diri kalian sendiri kedalam kebinasaan..” (QS. Al Baqarah : 195). Juga Hadits Nabi SAW: “Tidak boleh ada kemadharatan dan tidak boleh ada tindakan saling memadharatkan” (HR. Ibnu Majah dan Ad-Daruquthni). Serta berdasarkan Kaidah: “Kemadharatan harus dihilangkan”. Dan Kaidah : “Kewajiban menutup pintu-pintu kemadharatan”
Saudaraku. Tawakkal itu bukanlah berarti kita harus sepenuhnya pasrah kepada Allah dengan tanpa ada usaha. Dahulu pernah ada seorang shahabat yang hendak meninggalkan untanya begitu saja tanpa diikat, dengan alasan untuk ber-tawakkal kepada Allah SWT. Namun Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda kepada shalatnya tersebut : “Ikatlah lalu ber-tawakkal lah! ” (HR. At Tirmidzi). Tidak bolehkah kami melakukan daya upaya demi menghindari bahaya yang lebih besar? Bukankah dalam kaidah fiqh disebutkan : “Menolak mafsadat lebih didahulukan dari mengambil manfaat.”
Mari kita sudahi untuk saling menyalahkan, saling merendahkan dan saling meremehkan. Janganlah ada lagi yang menuduh kami menjauhi Allah SWT meski untuk sementara waktu, tidak lagi bisa hadir di rumah-rumah-Nya yang mumulia. Janganlah pula menuduh ulama kami bersepakat dalam kebathilan, karena apa yang mereka lakukan adalah ijtihad. Apabila ijitihad-nya benar, maka mereka akan mendapatkan dua pahala. Apabila mereka ijtihad-nya salah, mereka tetap mendapatkan satu pahala.
Saya berdoa, bagi kaum Muslimin yang memilih tidak ke masjid dalam beberapa waktu ke depan karena udzur ini, semoga Allah SWT senantiasa menjaga kalian dan kalian tetap bisa mendapatkan pahala yang sama sebagaimana dulunya kalian tetap ke masjid. Hal ini sesuai dengan Saba Rasulullah shallallahu alaihi wasallam : “Jika seorang hamba sakit atau bepergian (lalu beramal) ditulis baginya (pahala) seperti ketika dia beramal sebagai muqim dan dalam keadaan sehat.” (HR. Bukhari dan Ahmad)
Semoga ujian kali ini bisa menjadikan kita bersatu dalam berperan positif mencegah dan mengatasi penyebaran virus yang ada. Marilah kita jadikan momen ini sebagai momen untuk ber-muhasabah. Jangan-jangan karena dosa dan maksiat kita sendiri lah, kemudian ujian ini Allah kirimkan. ALLAH berfirman : “Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah SWT memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).” (QS. Asy Syuro : 30)
Marilah kita sering-sering memohon ampunan kepada Allah SWT dengan penuh harapan agar dengan istighfar dan taubat yang tulus, Allah SWT berkenan untuk memberikan jalan keluar dari setiap masalah yang kita hadapi, sebagaimana firman-NYA : “Dan ALLAH sekali-kali tidak akan mengadzab mereka, sedang kamu berada di antara mereka. Dan tidaklah (pula) ALLAH akan mengazab mereka, sedang mereka meminta ampun.” (QS. Al Anfal: 33)
Tidak perlu takut berlebihan, tapi jangan juga meremehkan. Jangan lupa untuk senantiasa ber-husnudzan kepada Allah SWT. Marilah kita bersabar wahai saudara-saudaraku, karena sesungguhnya setiap keadaan adalah baik bagi kaum Muslimin. Sesuai sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam : “Perkara orang mukmin itu mengagumkan, sesungguhnya semua keadaannya baik dan itu tidak dimiliki seorang pun selain orang mukmin. Bila tertimpa kesenangan, ia bersyukur dan syukur itu baik baginya dan bila tertimpa musibah, ia bersabar dan sabar itu baik baginya.” (HR. Muslim)
Mari kita satukan kembali hati kita. Jauhkan diri dari rasa dengki dan benci. Marilah kita sama-sama berupaya dengan segala sarana yang Allah SWT telah jadikan sebab, sembari terus bertawakkal kepada-Nya. Kita melangkah bersama untuk mendukung setiap gerakan positif yang dilakukan saudara-saudara kita, demi kebaikan bersama. Baarakallahu fiikum. (Agung Cahyadi)