Semua orang mukmin berharap semua amal ibadahnya diterima oleh Allah subhanahu wata’alah. Dan setiap mukmin pasti ingin memurnikan ibadahnya hanya kepada Allah saja. Memurnikan ibadah kepada Allah adalah dengan meyakini sepenuh hati tanpa ada keraguan bahwa Allah subhanahu wta’ala sajalah Dzat yang berhak untuk disembah dan diibadahi saja.
Agar seorang mukmin terjaga kemurnikan ibadahnya hanya karena Allah saja, maka bisa dilakukan dengan hal hal sebagai berikut :
1). Ibadah harus dilakukan dengan hati yang ikhlas
Ikhlas secara bahasa artinya memurnikan. Adapun menurut syara’, yang dimaksud ikhlas adalah memurnikan niat dalam beribadah kepada Allah, semata-mata mencari ridha Allah, dan mengharapkan rahmatNya, takut terhadap siksaNya, dan mencari pahala (keuntungan) akhirat. Serta membersihkan niatnya, riya’, sum’ah, mencari pujian, balasan, dan ucapan terimakasih dari manusia, serta niat duniawi lainnya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ اللَّهَ لاَ يَقْبَلُ مِنَ الْعَمَلَ إِلاَّ مَا كَانَ لَهُ خَالِصًا وَابْتُغِيَ بِهِ وَجْهُهُ
Sesungguhnya Allah tidak akan menerima dari semua jenis amalan kecuali yang murni untukNya dan untuk mencari wajahNya. [HR Nasaa-i, no. 3140].
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:
قَالَ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى أَنَا أَغْنَى الشُّرَكَاءِ عَنِ الشِّرْكِ مَنْ عَمِلَ عَمَلًا أَشْرَكَ فِيهِ مَعِي غَيْرِي تَرَكْتُهُ وَشِرْكَهُ
Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman: “Aku paling tidak membutuhkan sekutu. Barangsiapa beramal dengan suatu amalan, dia menyekutukan selain Aku bersamaKu pada amalan itu, Aku tinggalkan dia dan sekutunya. [HR Muslim no. 2985].
Jika ibadah dicampuri dengan syirik, maka syirik itu menggugurkan ibadah tersebut, betapa pun banyak ibadah yang telah dilakukan. Allah berfirman:
وَلَقَدْ أُوحِيَ إِلَيْكَ وَإِلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكَ لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ
Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) sebelummu: Jika kamu mempersekutukan (Allah), niscaya akan hapus amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi. [QS. az Zumar/39:65].
2). Ibadah harus dengan cara mutaba’ah, yaitu meneladani Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam .
Orang yang telah bersyahadat bahwa Nabi Muhammad n adalah utusan Allah, maka syahadat tersebut memuat kandungan: meyakini berita beliau, mentaati perintah beliau, menjauhi larangan beliau, dan beribadah kepada Allah hanya dengan syari’at beliau.Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagi kamu (umat Islam, yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (pahala) hari Kiamat, dan dia banyak menyebut Allah. [QS. al Ahzab/33 : 21].
Sehingga, siapapun yang beribadah dengan tidak mengikuti Sunnah (ajaran) Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka ibadahnya tersebut tertolak. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيهِ فَهُوَ رَدٌّ
Barangsiapa membuat perkara baru di dalam urusan kami ini (agama), apa-apa yang bukan padanya, maka urusan itu tertolak. [HR Bukhari no. 2697, Muslim no. 1718]
3). Ibadah yang telah ditetapkan, meliputi sebabnya, jenisnya, kadarnya, caranya, waktunya, dan tempatnya, maka wajib dilakukan sebagaimana yang dituntunkan.
Tidak boleh melanggar ketentuan-ketentuan tersebut. Sehingga, barangsiapa beribadah kepada Allah, namun ibadahnya itu tidak sesuai dengan yang telah ditetapkan oleh syari’at, maka ibadahnya tersebut tertolak.
Contoh:
Jenis. Ibadah qurban telah ditetapkan jenisnya dengan binatang ternak, yaitu onta, sapi, atau kambing. Jika ada orang berqurban dengan kuda, kelinci atau ayam, maka qurban itu tertolak.
Kadar/ukuran. Shalat subuh telah ditetapkan dua raka’at. Sehingga barangsiapa sengaja menambahnya, maka shalatnya tidak sah, karena menyelisihi kadar yang telah ditetapkan syari’at.
Cara. Barangsiapa mengubah tertib atau cara-cara wudhu’ atau shalat, maka ibadahnya tersebut tidak sah, karena telah menyelisihi cara yang ditetapkan syari’at.
Waktu. Jika seseorang menyembelih qurban pada bulan Rajab, atau puasa Ramadhan pada bulan Syawwal, atau wukuf di ‘Arafah pada tanggal 9 Dzul qa’dah, maka itu semua tidak sah, karena menyelisihi waktu ibadah yang benar.
Tempatnya. Orang yang i’tikaf di rumahnya, atau wukuf di Mudzalifah, maka itu tidak sah, karena menyelisihi tempat ibadah yang telah ditetapkan.
4). Ibadah harus dilakukan dengan dasar kecintaan, mengharapkan rahmat Allah, takut siksaNya dan disertai ketundukan dan pengangungan kepada Allah.
Ketika Allah memuji Nabi Zakaria sekeluarga, Dia berfirman:
إِنَّهُمْ كَانُوا يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَيَدْعُونَنَا رَغَبًا وَرَهَبًاۖ وَكَانُوا لَنَا خَاشِعِينَ
Sesungguhnya mereka (Nabi Zakaria sekeluarga) adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka berdo’a kepada Kami dengan harap dan takut. Dan mereka adalah orang-orang yang khusyu’ kepada Kami. [QS. al Anbiya’/21: 90].
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: Ibadah, asal maknanya adalah kerendahan (ketundukan) juga (seperti makna din). Tetapi ibadah yang diperintahkan (oleh Allah) mengandung makna kerendahan (ketundukan) dan makna kecintaan. Sehingga ibadah yang diperintahkan (oleh Allah) itu mengandung sifat puncak kerendahan (ketundukan) kepada Allah disertai puncak kecintaan kepadaNya.
Barangsiapa tunduk kepada seorang manusia disertai kebenciannya kepadanya, maka ia tidak menjadi seorang yang beribadah kepadanya. Dan seandainya seseorang mencintai sesuatu dan ia tidak tunduk kepadanya, maka ia tidak menjadi seorang yang beribadah kepadanya. Sebagaimana seseorang mencintai anaknya, dan kawannya.
5). Kewajiban ibadah tidak gugur dari hamba, semenjak baligh sampai meninggal dunia.
Allah Ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ
Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah sebenar-benar taqwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam. [QS. Ali ‘Imran/3:102].
Manusia yang paling tinggi derajatnya di sisi Allah ialah Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan beliau berkewajiban beribadah sampai wafatnya. Maka orang-orang yang derajatnya di bawah beliau, tentu lebih wajib untuk beribadah kepada Allah sampai matinya.
Allah Ta’ala berfirman:
وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّىٰ يَأْتِيَكَ الْيَقِينُ
Dan beribadahlah kepada Rabb–mu (Penguasamu) sampai al yaqin (kematian) datang kepadamu. [QS. al Hijr/15:99]
Setelah kita mengetahui kaidah-kaidah tentang ibadah ini, maka ketahuilah, seseorang yang memiliki anggapan bahwa “kewajiban beribadah kepada Allah dengan syari’at Nabi Muhammad gugur atas diri seseorang yang telah mencapai hakikat atau ma’rifat”, sungguh anggapan ini bertentangan dengan al Qur`an, al Hadits dan kesepakatan umat Islam, semenjak dahulu sampai sekarang. (aca)