Terkait malam seribu bulan, malam lailatul qadar, umumnya kaum muslimin selalu bertanya apa tanda-tandanya? Juga apa tanda-tanda orang yang mendapatkannya? Padahal yang terpenting dari upaya menggapai kemuliaan dan keberkahan lailatul qadar yang luar biasa itu, bukanlah dengan cara mencari tahu dan mengamati tanda-tandanya. Melainkan dengan mujahadah keras dan upaya optimal dalam mengisi setiap malam dengan berbagai amal ibadah yang seistimewa mungkin. Dan itulah yang diteladankan oleh Baginda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melalui i’tikaf sepuluh malam dan sepuluh hari penuh pada akhir bulan Ramadhan. Karena apabila kita meratakan upaya mujahadah dalam amal ibadah pada sepuluh malam terakhir Ramadhan, maka hampir bisa dipastikan insyaallah kita termasuk yang memperoleh kemuliaan dan keberkahan lailatul qadar, namun dengan kadar dan prosentasi yang berbeda-beda dan bertingkat-tingkat, masing-masing sesuai dengan kapasitas amal ibadah yang dilakukannya.
Adapun jika seseorang hanya “membidik” suatu malam tertentu saja yang paling diharapkannya sebagai lailatul qadar, maka disamping praktik tersebut tidak sesuai dengan tuntunan dan contoh sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, juga potensi melesetnyapun sangat besar. Karena meskipun “bidikan” telah diarahkan ke malam-malam ganjil misalnya, namun masalah pembedaan malam ganjil dan genap inipun bisa relatif. Dan faktor penyebabnya minimal dua hal. Pertama faktor perbedaan usia bulan Ramadhan antara 29 hari dan 30 hari, yang tentu akan membedakan penentuan sepuluh malam terakhir masing-masingnya. Disamping juga dipengaruhi oleh faktor perbedaan penentuan awal Ramadhan, yang tentu juga akan merancukan penentuan malam ganjil dan genapnya.
Apalagi jika seseorang yang ingin menggapai lailatul qadar itu, hanya atau lebih sibuk mencari tahu dan mengamati tanda-tandanya saja daripada kesibukannya berupaya mengisi waktu-waktunya dengan amal ibadah istimewa, maka besar kemungkinan upaya dan usahanya hanya sia-sia belaka. Karena disamping tanda-tanda yang tersebut dalam hadits-hadits sangat global dan relatif sekali, hadits-hadits yang memerintahkan kita agar berusaha mencari dan menemukan lailatul qadarpun juga jelas bukanlah seperti itu maksud dan praktiknya. Melainkan, sebagaimana tuntunan keteladanan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri dan para ulama salafus saleh serta khalafus saleh semua. Yakni dengan meratakan mujahadah dalam amal ibadah seoptimal dan semaksimal kemampuan selama bulan suci Ramadhan, dan puncaknya pada sepuluh malam dan sepuruh hari terakhir seluruhnya. Dan mungkin itulah rahasia mengapa waktu malam lailatul qadar sengaja disamarkan dan “dimisterikan”. Sehingga, karenanya, madzhab para ulamapun berbeda-beda dalam menentukan malam keberapa yang paling besar harapannya sebagai lailatul qadar. Dimana perbedaan mereka sesuai dengan jumlah malam ganjil diantara sepuluh malam terakhir Ramadhan. Yakni antara malam ke-21, malam ke-23, malam ke-25, malam ke-27, dan malam ke-29. Sementara itu madzhab yang lebih kuat dan rajih insyaallah adalah bahwa, lailatul qadar tidak tetap pada suatu malam tertentu setiap tahunnya, Akan tetapi, dari tahun ke tahun, bisa saja dibuat berubah-ubah dan berpindah-pindah diantara seluruh malam ganjil tersebut. Tujuan atau hikmahnya, seperti yang telah dikemukakan didepan, adalah agar setiap muslim/muslimah yang ingin memperoleh kemuliaannya, meratakan upaya mujahadahnya dalam beramal ibadah pada malam-malam termulia itu semuanya. Karena esensi kemuliaan lailatul qadar memang terletak pada semangat mujahadah dalam ibadah yang dimunculkannya demi meraihnya!
Lalu, dengan amal ibadah apa sajakah keberkahan lailatul qadar bisah diraih? Apakah hanya dengan i’tikaf, qiyamullail dan tilawah Al-Qur’an saja? Apakah seperti kondisi seorang muslimah yang berhalangan misalnya masih berpeluang untuk mendapatkan lailatul qadar? Dan apa pula tanda-tanda orang yang beruntung memperoleh kemuliaan malam berlimpah berkah tersebut? Serta apakah yang bersangkutan bisa mengetahui, menyadari atau merasakannya?
Sebenarnya setiap hamba yang dipertemukan oleh Allah Ta’ala dengan bulan termulia Ramadhan khususnya sampai akhir, berarti ia telah diberi peluang istimewa, seperti yang lainnya, untuk bisa meraih kemuliaan dan keberkahan lailatul qadar. Tinggal apakah ia mau dengan sungguh-sungguh memanfaatkannya ataukah tidak. Dan untuk memperoleh kemuliaan Ramadhan secara umum serta keberkahan lailatul qadar secara khusus, jenis amal saleh apapun, sesuai kondisi, kemampuan dan kesanggupan masing-masing kita, sebenarnya tetap bisa dan berpeluang sama atau serupa untuk menjadi wasilah dan sarana. Meskipun tentu saja, amal-amal ibadah yang lebih lekat sebagai amal malam dan ibadah masjid seperti i’tikaf, qiyamullail, tilawah Al-Qur’an, dzikir, doa, istighfar, dan semacamnya, tetap merupakan wasilah-wasilah atau sarana-sarana prioritas utama untuk tujuan menggapai kemuliaan teristimewa dan keberkahan berlipat ganda tersebut. Karena memang itulah yang dituntunkan, dicontohkan dan diteladankan oleh Sang Nabi termulia dan tercinta shallallahu ‘alaihi wasallam. Sehingga bagi siapapun diantara kita yang berkeleluasaan kondisi, haruslah senantiasa bersungguh-sungguh dalam upaya pemrioritasan dan pengistimewaan ibadah-ibadah ritual spesial dimaksud.
Namun di saat yang sama, bagi tak sedikit orang Islam lain, dengan kondisi-kondisi tertentu yang cukup spesifik, pada hakekatnya jenis amal saleh apapun yang mereka bisa sesuai kondisi, kesiapan dan kesanggupan yang dimiliki, tetap dapat berfungsi sama atau serupa seperti amal-amal ibadah ritual diatas, dan sekaligus bisa menggantikan nilai atau pahala sebagian yang terhalang dari mereka, diantara amal-amal ibadah tersebut. Maka yang harus dilakukan oleh setiap kita, saat kondisi menghalanginya dari sebagian ibadah spesial tertentu yang diinginkannya atau yang seharusnya dilakukannya sebagai sarana meraih lailatul qadar, adalah dengan segera mengalihkan perhatian dan mengarahkan mujahadah kepada jenis-jenis atau bentuk-bentuk ibadah dan amal lain yang masih memungkinkan sesuai kondisinya itu, lalu hendaklah ia tetap yakin bahwa, nilai serta pahala yang akan ia dapat bisa saja sama, atau bahkan bisa juga lebih tinggi dan istimewa.
Karena harus diingat dan dicatat bahwa, sejatinya yang terpenting dalam amal dan ibadah seseorang itu bukanlah jenis dan bentuk amalnya, ataupun banyaknya hasil yang dapat dikumpulkan dalam bidang amal ibadah tertentu. Melainkan tingkat keimanannya, level kejujurannya, nilai kesungguhannya dan kualitas mujahadah (usaha keras)-nya dalam melakukan setiap amal atau ibadah yang sesuai dengan kondisi dan kesanggupannya, apapun jenis dan bentuk amal ibadah tersebut. Oleh sebab itu, jawaban Baginda Rasulillah shallallahu ‘alaihi wasallam berbeda-beda atas pertanyaan sama yang diajukan oleh beberapa orang sahabat radhiyallahu ‘anhum. Yakni pertanyaan tentang: apakah amal yang paling afdhal (utama) itu? Sehingga, karenanya, para ulamapun, seperti Imam Ibnul Qayyim misalnya, akhirnya menyimpulkan bahwa, pada hakekatnya tidak ada satu amal ibadahpun yang merupakan amal ibadah paling afdhal (utama) secara mutlak bagi siapapun dan dalam kondisi apapun. Akan tetapi yang benar dan yang tepat adalah bahwa, penentuan ke-paling afdhal-an amal ibadah itu lebih menyesuaikan dan mengikuti perbedaan kondisi dan situasi serta tingkat kesanggupan dan level totalitas orang perorang pelakunya.
Dan terakhir, penting sekali diingatkan kembali bahwa, yang istimewa atau diistimewakan dari lailatul qadar (malam kemuliaan) itu, sebagaimana pula bulan Ramadhan secara umum, adalah faktor momentum waktunya. Sehingga bila ditanyakan, siapakah muslim/muslimah yang beruntung dan berbahagia dipilih oleh Allah sebagai peraih medali keberkahannya, maka tiada lain, dialah orang yang bersungguh-sungguh dan bermujahadah dalam mengisi serta memanfaatkan detik-detik, menit-menit dan jam-jamnya, dengan amal-amal spesial dan ibadah-ibadah istimewa, sesuai kondisi dan kesanggupannya, seperti yang telah disebutkan dimuka. Itulah tanda utamanya. Terlepas apakah yang bersangkutan mengetahui, menyadari dan merasakannya ataukah tidak! Sehingga, dengan demikian, seperti telah disebutkan, seseorang yang berusaha sungguh-sungguh mengikuti jejak sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan cara meratakan mujahadah amal ibadah di seluruh waktu bulan Ramadhan, dan utamanya atau puncaknya pada sepuluh malam dan sepuluh hari terakhirnya, maka hampir bisa dipastikan bahwa, ia termasuk dalam golongan orang beriman yang terpilih sebagai peraih kemuliaan malam termulia sepanjang masa dan pengunduh keberkahan malam terberkah sepanjang sejarah. Meskipun kadar dan prosentase perolehan satu sama lain, bisa berbeda-beda, bertingkat-tingkat dan berlevel-level, sesuai perbedaan kelas keimanan dan ketaqwaan, tingkat keikhlasan dan kejujuran, serta level totalitas dan kesungguhan masing-masing dalam setiap amal serta ibadah yang mampu ditunaikannya. Semoga kita semua tergolong dalam deretan para pemenang berbahagia itu dengan raihan poin keberkahan tertinggi! Aamiin (H. Ahmad Mudzoffar Jufri)