Ada seseorang yang berkonsultasi dengan bertanya: Assalamualaikum, Kami menikah sudah 15 tahun tapi 12 tahun ini saya tidak pernah merasa bahagia, berbagai cara baik konsultasi ke psikolog tapi tetep saja sama, apa yang harus saya lakukan. Ustadz menjawab:
Waalaikumsalam warohmatullohi wabarokatuhu.
Anda telah menikah 15 tahun. Tapi 12 tahun terakhir anda merasa tidak bahagia. Berarti pada tiga tahun pertama Anda merasakan kebahagiaan. Anda kehilangan rasa itu dan anda terus berusaha mendapatkannya kembali lewat beragam usaha, tapi belum anda dapatkan sampai sekarang ini. Kebahagiaan seperti apa yang pernah anda rasakan diawal pernikahan itu? Kenapa kebahagiaan itu hilang?
Sebelum menjawab pertanyaan anda, yaitu apa yang harus anda lakukan untuk mendapatkan kebahagiaan. Ada hal mendasar yang harus anda lakukan yaitu mendefinisikan dengan jelas dan terbatas apa yang anda maksud dengan kebahagiaan. Jangan sampai anda mencari kebahagiaan tapi anda belum menjelaskan maksud dari kebahagiaan yang ingin anda dapatkan. Itu ibarat orang ingin mendapatkan mobil, tapi dia tidak tahu yang dimaksud dengan mobil. Kebahagiaan seperti apa yang ingin anda cari?
Kebahagiaan itu bisa berupa terpenuhinya hasrat seksual, ketenangan jiwa, keharmonisan suami istri, suasana keluarga yang tentram dan berlimpah kasih sayang, anak-anak yang menjadi penyejuk mata dan seterusnya. Jawaban anda akan memudahkan anda meraihnya.
Jika kebahagiaan itu artinya terpenuhinya seluruh keinginan, maka anda ibarat mengejar fatamorgana, tampak nyata kebahagiaan di mata,ternyata setelah didekati dan dikenal dari dekat ternyata tidak tidak ada. Untuk meraih kebahagiaan maka islam memberi beberapa tips:
- Bersyukur
Orang tidak bahagia bukan karena dia tidak mendapat nikmat atau tidak bisa menikmatinya. Tapi lebih kepada tamak dan merasa kurangnya yang berlebihan. Jika suami dan istri bisa melayani hasrat seksualnya secara wajar dan dia mau mensyukurinya, maka dia akan merasa bahagia, tapi jika dia meminta lebih atau membandingkan dengan kebahagiaan orang lain, maka dia akan selalu merasa kurang dan berujung tidak bahagia. Jika seseorang mendapatkan uang dari hasil usahanya dan dia mensyukurinya, maka dia akan berbahagia dengan apa yang dia peroleh, tapi jika dia tidak bisa mensykurinya maka dia tidak akan bisa bahagia, karena nafsu serakahnya melampui realitas yang dia dapatkan.
Dengan bersyukur Allah akan tambahkan nikmat. Diantara nikmat itu adalah kebahagiaan. Dan karena kufur nikmat Allah akan datangkan adzab dan diantara adzab itu bisa jadi dicabutnya rasa bahagia itu. Allah berfirman:
وَاِذْ تَاَذَّنَ رَبُّكُمْ لَىِٕنْ شَكَرْتُمْ لَاَزِيْدَنَّكُمْ وَلَىِٕنْ كَفَرْتُمْ اِنَّ عَذَابِيْ لَشَدِيْدٌ
Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu memaklumkan, “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka pasti azab-Ku sangat berat.” (QS. Ibrahim:7)
- Melihat orang yang lebih rendah.
Melihat posisi orang lain yang tidak lebih beruntung dari kita dalam urusan dunia bisa menghadirkan rasa bahagia. Kita bisa merasa bahwa kita lebih beruntung daripada orang lain. Dalam hal ini Rasulullah saw bersabda:
انظروا إلى من هو أسفل منكم ولا تنظروا إلى من هو فوقكم ، فهو أجدر أن لا تزدروا نعمة الله عليكم
“Pandanglah orang yang berada di bawahmu (dalam masalah harta dan dunia) dan janganlah engkau pandang orang yang berada di atasmu (dalam masalah ini). Dengan demikian, hal itu akan membuatmu tidak meremehkan nikmat Allah padamu.” (HR. Bukhari dan Muslim)
- Bahagia itu letaknya di hati.
Kebahagiaan sejati itu ada pada diri kita sendiri. Jangan letakkan sebab kebahagiaan itu pada orang lain. Jika anda letakkan pada orang lain, anda akan lelah berharap kepadanya. Dengan menghadirkan rasa cukup dan puas dengan apa yang diterima dari orang lain akan menhadirkan kebahagiaan. Rasulullah bersabda:
لَيْسَ الْغِنَى عَنْ كَثْرَةِ الْعَرَضِ ، وَلَكِنَّ الْغِنَى غِنَى النَّفْسِ
“Kaya bukanlah diukur dengan banyaknya kemewahan dunia. Namun kaya (ghina’) adalah hati yang selalu merasa cukup.” (HR. Bukhari dan Muslim)
- Puncak kebahagiaan itu mendapat ridla ilahi dan dicintai Allah.
Jika Allah telah mencintai dan rida kepada hamabaNya, maka Allah yang akan menjadi penolongnya dan Allah yang akan menjadi sumber kebahagiaannya.
Untuk menggapai cinta Allah dan ridhonya yaitu dengan melakukan ibadah yang wajib dan menyempurnakannya dengan ibadah sunnahnya. Rasulullah saw bersabda:
وَمَا تَقَرَّبَ إِلَيَّ عَبْدِي بِشَيءٍ أَحَبَّ إِلَيَّ مِمَّا افْتَرَضْتُ عَلَيهِ ، وَمَا يَزالُ عَبْدِي يَتَقَرَّبُ إِلَيَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ ، فَإِذَا أحْبَبْتُهُ ، كُنْتُ سَمْعَهُ الَّذِي يَسْمَعُ بِهِ ، وَبَصَرَهُ الَّذِي يُبْصِرُ بِهِ ، ويَدَهُ الَّتي يَبْطِشُ بِهَا ، وَرِجْلَهُ الَّتِي يَمْشِي بِهَا وَإنْ سَألَنِي أعْطَيْتُهُ ، وَلَئِن اسْتَعَاذَنِي لَأُعِيذَنَّهُ
Dan tidaklah seorang hamba mendekat kepada-Ku; yang lebih aku cintai daripada apa-apa yang telah Aku fardhukan kepadanya. Hamba-Ku terus-menerus mendekat kepada-Ku dengan ibadah-ibadah sunnah hingga Aku pun mencintainya. Bila Aku telah mencintainya, maka Aku pun menjadi pendengarannya yang ia gunakan untuk mendengar, menjadi penglihatannya yang ia pakai untuk melihat, menjadi tangannya yang ia gunakan untuk berbuat, dan menjadi kakinya yang ia pakai untuk berjalan. Bila ia meminta kepada-Ku, Aku pun pasti memberinya. Dan bila ia meminta perlindungan kepada-Ku, Aku pun pasti akan melindunginya.” (HR Bukhari)
Demikian yang bisa disampaikan, semoga bermanfaat. Allahumma aamiin. – Amin Syukroni, Lc
Sumber: www: konsultasisyariah.net