Pasca Ramadhan Adalah Pembuktian

  • Sumo

Pasca Ramadhan adalah pembuktian, apakah kita termasuk yang benar-benar telah sukses dalam berpuasa Ramadhan yang baru berlalu, ataukah belum dan masih harus introspeksi diri, mujahadah serta banyak belajar lagi dan lagi? Pasca Ramadhan adalah pembuktian, apakah kita telah tergolong para ahli ibadah sejati, ataukah baru sekadar penggembira amal dadakan dan musiman saja? Pasca Ramadhan adalah pembuktian, apakah amal ibadah istimewa sebulan penuh kemaren itu hanya karena faktor bulan Ramadhan sebagai musim amal ibadah, yang serta merta usai dan “bubar” seiring berlalu dan “bubar”-nya bulan teristimewa? Ataukah telah benar-benar demi Tuhan-nya Ramadhan, yang berarti juga Tuhan-nya Syawwal, Tuhan-nya Dzulqa’dah, Tuhan-nya Dzulhijjah, dan seterusnya?
Dalam konteks ini Asy-Syaikh DR. Yusuf Al-Qardhawi menasehatkan dengan ungkapannya: “Kunu rabbaniyyin, wala takunu ramadhaniyyin!” (Jadilah kalian hamba-hamba beriman yang taat sepanjang masa karena Allah semata. Dan janganlah hanya menjadi para ahli ibadah dadakan selama musim Ramadhan saja!). Pasca Ramadhan adalah pembuktian, apakah taqwa istimewa yang merupakan goal dari ibadah puasa Ramadhan telah benar-benar membuat kita menjadi lebih “kebal” terhadap segala tipu daya syetan penggoda, setelah ia lepas dan bebas kembali dari rantai dan belenggunya, ataukah justru sebaliknya?
Nah, karena itu semua, maka pertanyaan penting pasca Ramadhan yang harus kita ajukan kepada diri masing-masing dan sekaligus menyiapkan jawaban terbaiknya, adalah: Bagaimanakah agar kita tetap bisa istiqamah dalam mempertahankan kondisi keimanan spesial plus segala amal istimewanya dengan berlalunya bulan termulia? Apalagi saat ditanya tentang simpul Islam, Baginda Sayyidina Rasulillah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menjawab dengan sabda singkat Beliau (yang artinya): Nyatakanlah: “aku beriman kepada Allah”, lalu istiqamahlah (HR. Muslim). Sehingga, karenanya, tidak banyak arti bagi amal ibadah seistimewa apapun, seperti yang telah ditorehkan oleh setiap kita selama Ramadhan lalu, bila tak dikemas dan dipelihara dalam bingkai terindah yang bernama istiqamah!
Namun pertanyaan berikutnya yang tak kalah pentingnya adalah: Apa dan bagaimana istiqamah itu? Yang pasti, ia sebuah kata yang ringan diucapkan, luas dalam cakupan, berat dilaksanakan, tapi tidak mustahil diupayakan dan diwujudkan! Ya, istiqamah memang berat, karena minimal ada tiga rukun utamanya, dimana masing-masingnya benar-benar tidak ringan, yakni: ilmu, amal dan ajeg (kontinue/berkelanjutan).
Sehingga seseorang yang berilmu tapi tidak diamalkan, belum istiqamah. Dan yang beramal tanpa ilmu, juga tidak istiqamah. Demikian pula yang tidak ajeg dalam mengamalkan ilmu, sama saja, juga berarti belum atau tidak istiqamah. Jadi istiqamah adalah beramal dengan ilmu yang benar dan baik, secara kontinue dan berkesinambungan. Lalu masalahnya, apa dan bagaimanakah cara agar kita tetap dan senantiasa bisa istiqamah, khususnya pasca Ramadhan seperti sekarang ini? Secara singkat, kiat-kiat utama dan faktor-faktor penunjangnya antara lain sebagai berikut:
Pertama: berilmu dan berpemahaman yang baik serta memadai. Kedua, jujur dalam keikhlasan dengan senantiasa berusaha lepas dari dominasi nafsu. Ketiga, tak melampaui batas atau tak melebihi porsi (ghulu), baik itu dalam ilmu dan pemahaman, amal dan perbuatan, dakwah dan pergerakan maupun sikap dan penilaian. Keempat, mengkodusifkan diri dan lingkungan secara islami, utamanya dalam lingkup keluarga dan pergaulan, dengan selalu bermawas dan berevaluasi diri (muraqabah dan muhasabah).
Kelima, sabar berada dalam komunitas kesalehan, pertemanan kebaikan, kerja sama kebajikan dan kebersamaan taqwa. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya): Bekerja samalah kalian atas dasar kebajikan dan ketaqwaan, serta janganlah bekerja sama atas dasar dosa dan permusuhan (QS. Al-Maidah: 2). Karena seseorang itu lemah kala sendirian, kuat dalam kebersamaan. Dan contoh terdekatnya adalah, saat berpuasa Ramadhan sebulan penuh yang baru lalu, dimana karena saking “ringannya” sampai-sampai seolah tak terasa tiba-tiba berakhir begitu saja. Mengapa? Tak lain karena begitu dominannya nuansa kebersamaan dan demikian kentalnya iklim keguyuban dalam menunaikannya. Sementara itu, sebagai perbandingan, puasa sunnah Syawwal yang hanya enam hari saja, sebaliknya, bisa terasa begitu berat bagi umumnya kita, sehingga tak sedikit yang sampai gagal menuntaskannya, padahal niat semula bukannya tidak ada! Mengapa? Tiada lain sebabnya, adalah karena umumnya masing-masing kita hanya sendirian saja saat menjalankannya!
Akhirnya sebagai penutup, perhatikanlah firman Allah (yang artinya): Maka istiqamahlah sebagaimana engkau diperintah. Begitu juga orang-orang yang tobat bersamamu (para sahabat, hendaklah istiqamah pula bersamamu), dan janganlah kalian melampaui/melebihi batas. Sungguh Dia Maha Tahu terhadap semua yang kamu amalkan (QS.Huud:112) (H. Ahmad Mudzoffar Jufri, MA)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.