Besarnya nikmat Allah yang diberikan kepada hambaNya di dunia ini merupakan anugerah yang tak terhingga, tak seorangpun mampu menghitungnya secara rinci. Namun sayang, jika anugerah yang besar ini hanya dapat dinikmati dalam waktu terbatas seiring dengan terbatasnya masa, jabatan, kekuatan dan umur manusia di dunia ini. Kemudian ujung-ujungnya ketika tua, sakit, pensiun dan mati, maka putuslah segala kenikmatan yang dirasakan. Dan kalau matinya nanti tidak berbekal amal sholeh, maka ketika hidup di akhirat nanti justru terjadi sebaliknya yaitu menjadi hina bahkan lebih hina daripada binatang ternak, setelah terputusnya nikmat Allah yang tidak pernah disyukuri sewaktu di dunia.
Allah swt. telah menginformasikan kepada kita dalam al-Qur’an surat al-Kauthar, bahwa nikmat-Nya akan selalu diberikan tanpa putus dan tanpa batas waktu dan tempat baik di dunia dan akhirat, jika kita mau mensyukuri nikmatnya dengan cara dua hal, yaitu dengan cara Mendirikan shalat dan mau berkorban semata-mata karena Allah swt. Dua hal tersebut merupakan syarat dalam bersyukur kepada Allah agar tetap memperoleh kenikmatan nikmat yang besar lagi berkah baik di dunia maupun di akhirat. Dan disamping itu ia akan terjauh dari ancaman hidup sengsara dan malapetaka sebagaiaman firman Allah dalam surat Ibrahim ayat7: Dan (ingatlah), tatkala Tuhanmu memaklumkan; “Sesungguhnya jika kalian bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepada kalian, dan jika kalaian mengingkari (nikmat-Ku), Maka Sesungguhnya azab-Ku sangat pedih”.
Menegakkan Sholat dan berkorban adalah dua mata rantai yang tersusun dalam satu bagian yang tidak dapat terpisahkan antara satu dengan yang lainnya. Bahkan keduanya berfungsi untuk saling melengkapi dan mendukung. Dengan kata lain tanpa ada penegakkan sholat karena Allah, maka tidak akan pernah ada pengorbanan dari seseorang. Begitupula sebaliknya, tanpa pengorbanan karena Allah, maka sholatnya pun keberadaannya tidak pernah dianggap dan sangat diragukan keabsahannya. Oleh karenanya keduanya harus berjalan seiring dan sejalan ada pada seseorang yang menginginkan utuhnya nikmat Allah yang tidak akan dicabut sewaktu-waktu.
Nabi Ibrahim as dan keluarganya merupakan contoh keluarga ideal yang benar-benar sukses dalam menjaga keutuhan dua hal tersebut di atas. Hal ini dapat dibuktikan dengan diabadikannya kisah dan syariat Ibrahim as bersama keluarganya oleh Allah swt dalam al-Quran al-Karim. Yaitu berawal ketika Ibrahim as mendapat perintah dari Allah swt untuk mengorbankan rasa cintanya kepada istri dan bayinya dengan perpisahan yang menyakitkan. Yaitu ketika Ibrahim harus menempatkan anak semata wayangnya bersama ibunya (Hajar as.) di satu lembah yang tidak berpenghuni dan tidak pula berpohon tanahnya yang terletak di Masjidilharam. Pengorbanan Ibrahim tidak lain adalah agar kelak anak dan keturunannya menjadi anak-anak shaleh yang mendirikan shalat atas bimbingan langsung seorang ibu muslimah lagi shalihah. Sebagaimana doa yang dipanjatkan yang termaktub dalam surat Ibrahim ayat 37: Ya Tuhan kami, Sesungguhnya Aku Telah menempatkan sebahagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah-Mu (Baitullah) yang dihormati, Ya Tuhan kami (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat, Maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan beri rezkilah mereka dari buah-buahan, Mudah-mudahan mereka bersyukur.
Sebagaimana Allah swt telah memberikan contoh tauladan dari kepribadian seorang manusia mulia nabi Ibrahim yang mengorbankan rasa cinta dan sayangnya kepada isteri dan anaknya semata-mata agar anak keturunannya kelak dapat mendirikan sholat. Hal ini sebagai bukti kecintaannya yang tulus kepada Allah swt. Begitupula halnya dengan shalat yang didirikan, haruslah bertujuan agar dengan shalat seorang mushallin (pendiri shalat) mampu menguasai hati dan fikirannya untuk dapat selalu mengingat Allah swt. dan mampu mengorbankan nafsu jiwanya untuk Islam (berserah diri kepada Allah) dengan cara mencegah diri dari perbuatan keji dan munkar meskipun jiwa dan harta taruhannya. Seperti contoh pengorban Isma’il as. (ketika ia berusia sanggup membantu orang tuanya, sekitar umur 9 sampai 13 tahun) dari hasil buah shalat yang telah ia dirikan karena Allah swt. Meskipun masih berusia kanak-kanak ketika sang ayahnya (Ibrahim) memberitahukan kepadanya bahwa Allah swt. telah memerintahkan Ibrahim untuk menyembelih dirinya (isma’il putra tercintanya), dalam surat Shaffat: 102-107. seraya Isma’il menjawab: “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar”. tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis(nya), (nyatalah kesabaran keduanya ). dan Kami panggillah dia: “Hai Ibrahim. Sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu [perintah Allah] Sesungguhnya Demikianlah Kami memberi Balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar [Sesudah nyata kesabaran dan ketaatan Ibrahim dan Ismail a.s. Maka Allah melarang Ibrahim menyembelih Ismail. Kemudian Allah menggantinya dengan seekor sembelihan (kambing). Peristiwa ini menjadi dasar disyariatkannya Qurban yang dilakukan pada hari raya haji.]
Dengan demikian jelaslah bahwa shalat haruslah didirikan untuk membangun rasa pengorbanan, sebagaimana pengorbanan dibutuhkan pula untuk shalat. Keduanya adalah dua rangkaian yang sama-sama berfungsi untuk saling melengkapi. Tanpa shalat pengorbanan akan sia-sia sebagaimana tanpa pengorbanan sholat pun dianggap sia-sia belaka.
Karena itu Allah swt. mensyariatkan ibadah Haji bagi seluruh umat manusia yang berkemampuan melaksanakannya, dan shalat idul Adha bagi yang bermukim atau tidak dapat melaksanakan Haji. Adalah dalam rangka agar umat ini menjadi khairu ummah sebaik-baik umat yang dapat meraih nikmat Allah di dunia maupun di akhirat.