Ada pertanyaan kepada ustadz: Assalamu’alaikumsalam wr. wb. Baru-baru ini keluarga besar kami mendapat musibah yang sangat besar.Adik saya hamil di luar nikah.Pihak keluarga kami sudah mendatangi pihak keluarga dari laki-laki (yang tidak lain adalah ayah dari jabang bayi adik saya ini) untuk menuntut pertanggungjawabannya. Dan pihak keluarga laki-laki ini menyatakan bersedia menikahkan putranya dengan adik saya saat setelah adik saya melahirkan nanti. Karena menurut syariat Islam adalah demikian. Yang ingin saya tanyakan, apakah benar untuk kasus seperti adik saya, pernikahan boleh dilaksanakan di saat setelah melahirkan??mohon penjelasan dan jalan keluarnya.
Terima kasih. Wassalamualaikum wr wb.
Al Ustadz Ahmad Mudzoffar menjawab: Alhamdulillah, wash-shalaatu was-salaamu ‘alaa Rasulillah, Amma ba’du: Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, kami ingin mengingatkan bahwa, masalah kehamilan di luar nikah, yang banyak terjadi saat ini, adalah salah satu sisi akibat logis dan dampak negatif dari fenomena pergaulan bebas antar beda jenis, yang tidak bisa tidak pasti mengarah pada maraknya perzinaan dan pelacuran yang merupakan penyakit sosial dan sekaligus kejahatan moral yang paling berbahaya bagi tatanan kehidupan masyarakat dan paling merusak eksistensi sebuah bangsa. Tentu itu semua harus dicegah dan dihentikan jika tidak ingin kehidupan ini semakin hancur. Dan caranya tidak ada lain kecuali dengan menghapus adat jahiliyah modern berupa pacaran, pergaulan bebas dan percampuran tanpa batas antar beda jenis, laki-laki dan perempuan, dari peta budaya pergaulan masyarakat kita. Tentu itu tidak mudah dan tidak bisa bim salabim, tapi mesti bertahap. Yang penting harus dimulai. Dan itu dari diri pribadi masing-masing anggota masyarakat, ya kita sendiri. Ya. Masing-masing harus mulai mejauhi dan menghindari segala bentuk pergaulan bebas dan pacaran bebas yang sudah sedemikian marak dan merata itu. Semoga Allah menjaga kita dan kaum muslimin semuanya. Aamiin.
Selanjutnya sebagai jawaban, kami ingin menyampaikan beberapa hal sebagai berikut: Jika yang ditanyakan adalah hukum pernikahan setelah adik Anda – yang hamil diluar nikah – tersebut melahirkaan, maka semua ulama sepakat bahwa hal itu boleh dan sah, baik pernikahan terjadi dengan lelaki yang telah menghamilinya tersebut, maupun dengan lelaki lain.
Adapun jika pernikahan terjadi di tengah-tengah masa kehamilan dan sebelum melahirkan, maka disini ada dua masalah. Jika yang menikahinya adalah lelaki lain, yakni selain lelaki yang menghamilinya, maka para ulama sepakat bahwa hal itu haram dan tidak sah. Karena pernikahan itu akan mengakibatkan terjadinya percampuran nasab (ikhtilaathul-ansaab) yang dilarang. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda (yang artinya): “Tidak halal bagi seseorang yang beriman kepada Allah dan hari akhir, menyiramkan air maninya pada janin orang lain (yakni haram menggauli wanita yang hamil dari hasil hubungannya dengan lelaki lain)” (HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi, Ibnu Hibban dan Al-Bazzar, dari sahabat Ruwaifi’ bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu).
Sedangkan jika yang menikahinya adalah lelaki yang menghamilinya, maka hukum masalah ini diperselisihkan. Menurut sebagian ulama, pernikahan itu tidak benar dan tidak sah berdasarkan keumuman makna firman Allah (yang artinya): “Dan wanita-wanita yang hamil, masa tunggu bagi mereka (untuk bisa menikah) adalah sampai mereka melahirkan bayi yang mereka kandung” (QS. Ath-Thalaaq [65]: 4). Menurut pendapat ini, kata “ulaatul ahmaal” (wanita-wanita hamil) dipahami secara umum sehingga meliputi yang hamil di dalam nikah dan di luar nikah. Tapi ada ulama-ulama lain yang membolehkan dan mensahkan pernikahan tersebut. Karena menurut mereka, tidak ada dalil khusus yang melarang. Sedangkan firman Allah tersebut, menurut pendapat kedua ini, khusus untuk wanita yang hamil di dalam nikah yang sah dengan dalil kata “ajaluhunna” (masa tunggu mereka untuk menikah) yang diartikan sama dengan kata “’iddatuhunna” (masa iddah mereka). Dan istilah iddah hanyalah berlaku bagi wanita yang diceraikan atau ditinggal wafat oleh suaminya. Dan di antara ulama yang mensahkan pernikahan wanita yang hamil di luar nikah adalah Imam Asy-Syafi’i rahimahullah (lihat Fiqhus Sunnah I/65).
Salah satu konsekuensi hukum syar’i dari kehamilan di luar nikah adalah bahwa, anak yang lahir dari hubungan zina itu hanya dinisbatkan kepada ibunya saja dan tidak kepada lelaki yang menjadi penyebab kehamilan yang tidak sah itu. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda (yang artinya): “Anak (hasil hubungan zina) itu milik ibunya, sedangkan lelaki penzina berhak mendapat (hukuman lemparan) batu” (HR. Muttafaq ‘alaih). Artinya anak itu hanya punya ibu saja dan tidak punya ayah. Karena “ayah”-nya itu hanya dalam hubungan darah (karena ia terlahir dari benih sang “ayah”), tapi secara hukum syar’i ia tidak dihukumi sebagai ayah yang sah. Sehingga hukum-hukum syar’i antara ayah dan anak pun tidak berlaku disini, seperti hukum perwalian misalnya dan lain-lain. Maka “ayah”-nya itu tidak bisa menjadi walinya saat nikah. Jadi, bagi anak yang lahir dari hubungan zina, yang ada memang hanya wali hakim!
Jika mengikuti pendapat yang kedua tadi (pernikahan sah), maka anak-anak kedua, ketiga dan seterusnya adalah anak-anak sah yang dinisbatkan kepada kedua ibu dan bapaknya sekaligus. Dan disini berlaku seluruh hukum syar’i yang terkait dengan hubungan bapak dan anak, seperti perwalian, perwarisan dan lain sebagainya.
Namun perlu ditegaskan bahwa, meskipun anak yang lahir dari hubungan zina tersebut tidak dinisbatkan secara syar’i kepada bapak biologisnya, hal itu bukan berarti sang “bapak” lalu menjadi bebas tanggung jawab terhadap “anak”-nya itu. Tidak, tidak demikian. Bahkan boleh jadi tanggung jawab dan kewajibannya terhadap “anak”-nya itu lebih besar, karena bagaimanapun dialah yang menjadi penyebab kehadirannya yang biasanya dianggap dan disikapi sebagai aib, padahal ia sebagai anak tetaplah terlahir sebagai makhluk suci yang tidak berdosa. Sedangkan yang berdosa adalah kedua ibu bapaknya. Maka, karenanya, sebagai salah satu bukti tobat, mereka tentu berkewajiban melipat gandakan kebaikan untuk anak mereka, sebagai semacam pengganti berbagai keburukan, kenegatifan dan kerugian yang harus ditanggung sang anak yang terlahir akibat hubungan haram dan dosa yang mereka lakukan! Demikianlah jawaban yang bisa kami berikan, semoga dipahami dan bermanfaat. Wallahul Muwaffiq wal Haadi ilaa sawaa-issabiil.
Sumber: https://ustadzmudzoffar.wordpress.com/2009/05/04/pernikahan-wanita-hamil-di-luar-nikah/#more-200