Insya-allah akan terjadi perbedaan lagi antar kaum muslimin Indonesia dalam mengawali puasa Ramadhan 1435 ini, antara tanggal 28 (hari Sabtu) dan 29 (hari Ahad) Juni 2014. Meskipun, dan ini yang relatif menggembirakan, perayaan idul fitri-nya nanti, diprediksi kuat insya-allah akan terjadi secara seragam, serempak dan kompak, pada hari Senin tanggal 28 Juli 2014.
Prediksi nyaris pasti akan terjadinya perbedaan awal Ramadhan tahun ini, disebabkan karena saat matahari terbenam pada hari Jum’at 29 Sya’ban ini nanti, yang bertepatan dengan tanggal 27 Juni 2014, menurut para ahli hisab, hilal (bulan) berada pada posisi yang “sangat tidak aman”. Dimana ketika itu hilal sudah wujud (ada/muncul) diatas ufuk (horizon), namun disepakati belum memungkinkan untuk bisa dirukyat (dilihat), karena ketinggiannya memang masih kurang dari 1 derajat, yakni antara 0, 31 derajat dan 0, 50 derajat. Padahal standar minimal ketinggian hilal yang memungkinkan untuk bisa dirukyat adalah 2 derajat. Nah, dengan posisi hilal seperti itu, para pencetus sekaligus penganut madzhab hisab hakiki wujudul hilal (penentuan bulan baru berdasar wujud-nya hilal diatas ufuk seberapapun kadar derajat ketinggiannya), telah menetapkan dan memutuskan bahwa, hari Sabtu 28 Juni 2014 sudah merupakan hari pertama puasa Ramadhan 1435. Sementara itu, dengan hasil hisab yang sama tentang posisi hilal, para pengikut madzhab rukyat lokal begitu pula para penganut madzhab hisab imkan rukyat (penentuan bulan baru berdasar wujud-nya hilal diatas ufuk pada ketinggian yang telah memungkinkan untuk bisa dilihat), tentu saja sama-sama menetapkan keharusan istikmal (penggenapan) bulan Sya’ban 30 hari. Sehingga dengan demikian, awal puasa Ramadhan, menurut mereka yang merupakan jumhur (mayoritas ummat), baru akan jatuh pada hari Ahad-nya tanggal 29 Juni 2014.
Adapun prediksi tentang kesamaan dan kebersamaan dalam penetapan hari raya idul fitri 1435, adalah karena pada saat maghrib hari Ahad 27 Juli 2014, yang bertepatan dengan tanggal 29 Ramadhan bagi mayoritas muslimin yang memulai puasa tanggal 29 Juni 2014, di seluruh wilayah Indonesia, posisi hilal disepakati telah berada diatas ufuk pada derajat yang relatif tinggi, yakni antara 3, 37 derajat dan 3, 55 derajat. Dimana dengan posisi tersebut, cukup besar kemungkinan rukyat yang insyaallah dilakukan pada maghrib hari itu akan berhasil. Sehingga dengan begitu Sidang Itsbat Depag diprediksi kuat akan menetapkan esok harinya, Senin 28 Juli 2014, adalah merupakan hari raya Idul Fitri 1 Syawal 1435. Apalagi bagi kaum muslimin yang telah memulai puasa sehari lebih awal, yakni pada hari Sabtu tanggal 28 Juni 2014, dimana hari Ahad tanggal 27 Juli 2014 itu justru sudah merupakan hari ke-30 puasa mereka.
Dengan pemaparan singkat diatas, maka yang tampak bahwa, perbedaan yang sering terjadi selama ini dalam memulai puasa Ramadhan dan berhari raya, adalah karena perbedaan metode penetapan bulan baru, antara madzhab rukyat dan hisab. Tapi sebenarnya penyebab utamanya bukanlah itu. Karena terbukti dengan keadaan atau kondisi yang sama atau serupa, ternyata ummat Islam di luar Indonesia yang juga berbeda-beda madzhabnya, tetap bisa selalu bersama-sama dalam mengawali puasa Ramadhan dan dalam berhari raya. Jika begitu, lalu apa sejatinya faktor penyebab itu di sini, di negeri mayoritas muslim ini? Tidak lain dan tidak bukan, adalah karena yang masih lebih diutamakan, dikedepankan dan dimutlakkan disini adalah cara, metode dan madzhab penentuan awal bulan yang diikuti oleh masing-masing, antara rukyat dan hisab, atau antara rukyat lokal dan rukyat global, atau antara hisab imkan rukyat dan hisab hakiki wujud hilal. Sedangkan bagi jumhur ulama dan muslimin di dunia, dalam hal puasa Ramadhan dan hari raya, yang lebih diprioritaskan, dikedepankan dan dimutlakkan adalah prinsip kebersamaannya. Adapun cara, metode dan madzhab penentuan, maka sepakat disikapi sebatas sebagai wasilah dan sarana yang bersifat relatif, dan yang harus bisa ditoleransikan serta dikompromikan!
Saya tidak ingat benar kapan tepatnya pertama kali menulis dan atau concern berpromosi tentang tema ini. Yakni tentang tema seruan persatuan Ummat terkait dengan penetapan awal Ramadhan, idul fitri dan idul adha. Yang jelas, sejak beberapa tahun terakhir, dan insya-allah seterusnya wallahu a’lam sampai kapan, dalam berbagai forum, saya selalu mengangkat topik ajakan penyatuan dan persatuan Ummat ini pada setiap momentum menjelang Ramadhan dan dua hari raya. Dengan satu target dan harapan, semoga segera terwujud sebuah pola kesepakatan tertentu antar seluruh komponen Ummat Islam bersama Pemerintah, yang akan menjamin selalu terjadinya kesatuan dan persatuan serta kesamaan dan kebersamaan, secara by design dan bukan sekadar by accident, dalam mengawali setiap puasa Ramadhan, dalam mengakhirinya dan dalam berhari raya.
Namun, mengapa masalah penetapan awal puasa Ramadhan dan hari raya jadi demikian penting dalam konteks harapan persatuan Ummat? Ya karena, menurut saya, memang disinilah antara lain terletak pertaruhan harapan besar itu. Sebab terwujudnya persatuan dan kebersamaan dalam konteks ini semestinya dan seharusnya termasuk yang paling dekat dan riil, dibandingkan dengan aspek-aspek lain. Dimana jika telah bisa dicapai kesepakatan yang membuat seluruh Ummat selalu bersama-sama dalam memulai puasa dan dalam berhari raya, maka berarti harapan terjadinya persatuan dan kebersamaan dalam hal-hal dan bidang-bidang lainpun, insya-allah akan semakin dekat. Adapun bila kesepakatan dan kebersamaan soal penetapan Ramadhan dan hari raya, yang sebenarnya sudah di depan mata ini, ternyata masih juga sulit tercapai, seperti yang terjadi sampai detik ini, maka berarti harapan yang lebih besar akan terwujudnya persatuan dan kebersamaan Ummat Islam di negeri ini dalam berbagai aspek lainpun, lebih jauh lagi dan lagi!
Tapi bagaimanapun harapan tetap tidak boleh redup. Kita tetap tidak boleh berputus asa. Ya, kita tetap wajib terus dan terus berharap seoptimis mungkin – dan sekaligus berupaya riil – akan terjadinya kesepakatan dan persatuan itu suatu saat. Yakni melalui pola kesepakatan dan kesepahaman tertentu atas dasar semangat toleransi dan kompromi, yang akan menjamin selalu terwujud dan terjadinya kebersamaan indah yang didamba-damba itu. Dan semoga itu tidak jauh dan tidak lama. Karena secara syar’i (menurut syariat) dan waqi’i (tuntutan realita), memang semestinya ummat Islam di Indonesia selalu bersepakat dan bersatu serta bersama-sama setiap kali mengawali shaum Ramadhan, ber-idul fitri dan ber-idul adha. Disamping memang sangat mungkin dan dekat sekali realisasinya, hal itu adalah juga merupakan tanggung jawab dan kewajiban kita bersama. Setidaknya karena tiga alasan:
Pertama, shaum Ramadhan dan ‘Iedain (dua hari raya) adalah ibadah-ibadah dan momen-momen syi’ar kebersamaan (sya’aa-ir jamaa’iyyah), dimana semestinya seluruh kaum muslimin selalu memulai puasa secara bersama-sama, mengakhirinya secara bersama-sama, dan bergembira dalam merayakan ‘Iedain juga secara bersama-sama, dan tidak sendiri-sendiri atau masing-masing. Tentu itu khususnya atau minimal dalam satu negara atau wilayah tertentu. Itulah tuntunan syariat Islam berdasarkan hadits-hadits dan praktik ummat Islam sejak generasi salaf dan seterusnya sepanjang sejarah panjang Islam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,”Ash-shaumu yauma tashuumuun, wal-fithru yauma tufthiruun, wal-adh-haa yauma tudhahhuun” (Puasa Ramadhan adalah pada hari dimana kalian semua bersama-sama berpuasa. Idul Fithri adalah pada hari dimana kalian semua bersama-sama ber-’Iedul Fitri. Dan ‘Iedul Adha adalah juga pada hari dimana kalian semua bersama-sama ber-’Iedul Adha) (HR Tirmidzi, Abu Dawud dan Ibnu Majah; dishahihkan oleh Ahmad Syakir dan Al-Albani).
Oleh karena itu kita tidak menemukan dalam sejarah Islam adanya perbedaan dalam berpuasa Ramadhan dan berhari raya dalam satu wilayah, satu kota, satu kampung, apalagi dalam satu rumah, sebagaimana yang terjadi disini saat ini. Yang pernah terjadi semenjak masa sahabat hanyalah perbedaan antara wilayah yang berjauhan, seperti yang kita dapati dalam hadits Kuraib (HR Muslim, Ahmad dan Tirmidzi) dimana Ibnu ‘Abbas dan para sahabat di Madinah menetapkan Ramadhan dan Idul Fitri berdasarkan hasil rukyat khusus di Madinah yang berbeda dengan hasil rukyat Khalifah Mu’awiyah dan kaum muslimin di Syam. Sehingga dengan demikian, untuk saat ini tentu saja ditolerir jika perbedaan itu terjadi antar negara di dunia. Tapi untuk masing-masing negara tidak semestinya hal itu masih juga terjadi.
Kedua, masalah perbedaan dalam hal penentuan awal Ramadhan, idul fitri dan idul adha, adalah salah satu contoh masalah dimana adanya perbedaan (ikhtilaf) hanya ditolerir dalam hal metode dan cara penetapan di tingkat teori dan wacana saja. Tapi tidak ditolerir terjadinya perbedaan tersebut di tataran praktik dan implementasi di lapangan kehidupan nyata. Inilah yang kita tahu dan catat dari praktik imam-imam dan ulama-ulama berbagai generasi sepanjang sejarah ummat Islam. Dimana sejak dulu telah terjadi perbedaan dan perselisihan antar madzhab para imam dalam teori dan wacana cara penetapan awal bulan, antara metode rukyat dan hisab, bahkan antara metode rukyat global dan rukyat lokal. Dimana sebagai konsekuensinya, tentu saja sangat logis jika dari waktu ke waktu terjadi perbedaan dalam hasil dan keputusan akhir. Namun ternyata perbedaan itu, andai terjadi, hanya berhenti di tataran teori dan wacana saja, dan sama sekali tidak terlihat di tataran realita. Karena secara praktik dan fakta sejarah, para ulama, dan seluruh ummat bermakmum pada mereka, selalu saja bisa bersepakat dan bersama-sama dalam mengawali puasa Ramadhan, ber-idul fitri dan ber-idul adha, kecuali antar wilayah yang berjauhan.
Ketiga, kita ummat Islam di Indonesia, yang nota bene sebagai negara muslim terbesar, rasanya patut malu, seraya berintrospeksi diri. Karena bahkan dalam hal ibadah dan momen kejamaahan, kebersamaan dan persatuan seperti puasa Ramadhan dan dua hari raya inipun masih saja kita “bersikeras” untuk “memilih” berbeda-beda dan berselisih, serta belum siap atau “belum mau” bersepakat dan bersatu. Padahal saat ini, mungkin hanya tinggal Indonesia saja, sekali lagi, HANYA TINGGAL INDONESIA SAJA, satu-satunya negara di dunia dimana ummat Islam-nya masih tetap belum juga siap berkompromi dan bersatu dalam hal ini . Sedangkan ummat Islam lain di tiap negara di dunia, bahkan termasuk di sejumlah negara daratan Eropa, umumnya telah bisa selalu berkompromi, bersatu dan bersama-sama dalam memulai puasa Ramadhan, ber-idul fitri dan ber-idul adha.
Akhir kata, meskipun faktanya, sesuai prediksi dan bukan harapan, memang benar-benar kita masih belum bisa berkompromi untuk bersatu dan bersama-sama, maka perbedaan dan perselisihan yang terjadi tetap saja harus kita semua sikapi dengan arif, bijak, dewasa, dan proporsional. Yakni dengan selalu mengedepankan sikap toleransi terhadap pendapat lain, sesuai kaedah penyikapan terhadap setiap masalah khilafiyah. Sehingga tidak terjadi dampak-dampak yang lebih buruk lagi. Dan di saat yang sama, harapan tetap dan terus kita gantungkan pada rahmat Allah, lalu pada sikap bijak para ulama kita, para tokoh kita, dan pada para pimpinan ummat Islam! Diiringi doa semoga Allah Ta’ala merahmati kita semua untuk bisa bertemu dengan bulan Ramadhan dengan pertemuan yang istimewa dan berbarakah, serta mampu menggapai taqwa nan istimewa pula di bulan penempaan diri yang mulia dan suci nanti. Aamiin!