Diprediksi kuat insya-allah akan terjadi kesamaan, kebersamaan dan kekompakan by accident (baca: secara ketepatan) bukan by design (baca: dengan kesepakatan) antar kaum muslimin Indonesia dalam mengawali puasa Ramadhan 1436 mendatang ini, yakni pada hari Kamis 18 Juni 2015. Begitu pula dalam berhari raya Idul Fitri 1 Syawwal 1436, yang insyaallah akan jatuh serempak pada hari Jum’at 17 Juli 2015. Namun, dan ini yang disayangkan, tidak demikian dengan hari raya Idul Adha 10 Dzulhijjah 1436, yang insyaallah masih akan terjadi perbedaan lagi antar ummat Islam negeri ini dalam penetapannya. Yakni antara hari Kamis 24 September 2015 dan sehari sebelumnya Rabu 23 September 2015.
Tentang prediksi hampir pasti akan terjadinya kesamaan, insyaallah, dalam penetapan awal Ramadhan tahun ini, disebabkan karena ijtimak (konjungsi) jelang Ramadhan 1436 insyaallah akan terjadi pada hari Selasa 16 Juni 2015 sekitar pukul 21.05 WIB. Dan saat matahari terbenam pada hari itu yang bertepatan dengan tanggal 29 Sya’ban 1436, tinggi Hilal dinyatakan sekitar -02,32 derajat, yang berarti bulan belum wuiud di seluruh wilayah lndonesia, karena posisinya masih berada di bawah ufuk (horizon). Dimana dengan posisi seperti itu, semua pihak tentu saja akan sama-sama menetapkan keharusan istikmal (penggenapan) bulan Sya’ban. Sehingga hari Rabu 17 Juni 2015 masih merupakan tanggal 30 Sya’ban 1436, dan shaum Ramadhan 1436 baru akan diawali pada hari Kamis 18 Juni 2015.
Sedangkan untuk hari Idul Fitri-nya yang diprediksi kuat insyaallah juga akan terjadi keseragaman waktu dalam merayakannya, adalah karena ijtimak jelang Syawwal 1436 insyaallah akan terjadi pada hari Kamis,16 Juli 2015 kurang lebih pukul 08.21 WIB. Dimana posisi hilal waktu matahari terbenam pada tanggal 29 Ramadhan itu dinyatakan cukup tinggi pada kisaran angka 3,62 derajat. Dimana dengan posisi hilal yang telah imkanur rukyah (memungkinkan untuk bisa dilihat) tersebut, seluruh penganut madzhab hisab pasti sepakat menetapkannya sebagai tanda permulaan bulan baru, yakni bulan Syawwal 1436. Demikian pula dengan posisi tersebut, aktifitas rukyat oleh para perukyat yang insyaallah dilakukan pada maghrib hari itu cukup besar kemungkinannya akan berhasil. Sehingga dengan demikian Sidang Itsbat Depag-pun diprediksi kuat akan menetapkan esok harinya, Jum’at 17 Juli 2015, adalah merupakan hari raya Idul Fitri 1 Syawal 1436.
Adapun terkait penetapan Idul Adha 10 Dzuhijjah 1436 nanti, selama belum ada perubahan pola pikir, pola sikap dan atau pola kebijakan, maka diprediksi kuat insyaallah masih akan terjadi perbedaan di Indonesia. Dimana penyebab lahiriahnya (yang tampak) tak lain adalah karena ijtimak jelang Dzulhijjah 1436 insyaallah akan terjadi pada hari Ahad 13 September 2015 sekitar pukul 13.43. WIB. Lalu saat matahari terbenam pada tanggal 29 Dzulqa’dah 1436 (ya hari Ahad) itu, hilal dinyatakan berada pada posisi yang sangat “tidak aman”, yakni sudah berada (wujud) di atas ufuk, namun ketinggiannya masih jauh di bawah 1 derajat, yang berarti belum memungkinkan untuk bisa dilihat (belum imkanur rukyah). Itupun hanya di sebagian saja dari wilayah Indonesia, sedangkan di sebagian wilayah yang lain, bahkan disebutkan bulan masih berada di bawah ufuk. Sehingga konsekuensinya tentu saja, adalah terjadinya perbedaan. Karena berlandaskan fakta hasil hisab tersebut, sebagian kaum muslimim yang menganut madzhab hisab hakiki wujudul hilal, telah menetapkan hari Senin 14 September 2015 sebagai awal bulan Dzulhijjah 1436, dan Rabu 23 September 2015 sebagai hari raya Idul Adha 10 Dzulhijjah 1436. Sementara itu para pengikut madzhab hisab dengan standar imkanur rukyah, dengan posisi hilal serendah itu yang berarti mustahil untuk bisa dilihat, justru menyimpulkan sebaliknya. Yakni bahwa hari Senin 14 September 2015 itu masih merupakan bagian dari bulan Dzulqa’dah 1436, dan tanggal 1 Dzulhijjah 1436 bertepatan dengan hari Selasa 15 September 2015. Nah kesimpulan madzhab hisab imkanur rukyah inilah yang insyaallah sesuai dengan prediksi kuat keputusan hasil Sidang Itsbat Depag yang insyaallah digelar pada hari Ahad 29 Dzulqa’dah 1436 / 13 September 2015. Sehingga karenanya, hari raya Idul Adha 10 Dzulhijjah 1436 yang akan diikuti oleh jumhur kaum muslimin Indonesia-pun insyaallah akan jatuh pada hari Kamis 24 September 2015.
Dengan pemaparan singkat diatas, tampak seolah-olah perbedaan yang sering terjadi selama ini di negeri ini dalam memulai puasa Ramadhan dan berhari raya, yang untuk tahun ini insyaallah masih akan terjadi dalam penetapan hari raya Idul Adha, adalah karena soal perbedaan metode penetapan bulan Hijriyah, antara madzhab rukyat dan hisab. Tapi sebenarnya penyebab utamanya bukanlah itu. Karena terbukti dengan keadaan atau kondisi yang sama atau serupa, ternyata ummat Islam di luar Indonesia yang juga berbeda-beda madzhabnya, tetap bisa selalu bersama-sama dan serempak dalam mengawali puasa dan dalam berhari raya. Jika begitu, lalu apa sejatinya faktor penyebab itu di sini, di negeri mayoritas muslim ini? Tidak lain dan tidak bukan, adalah karena yang masih lebih diutamakan, dikedepankan dan dimutlakkan dalam masalah ini adalah cara, metode dan madzhab penentuan awal bulan yang diikuti oleh masing-masing, antara rukyat dan hisab, atau antara rukyat lokal dan rukyat global, atau antara hisab imkanur rukyah dan hisab hakiki wujudul hilal. Sedangkan bagi jumhur ulama dan muslimin di dunia, bahkan sepanjang sejarah Islam, dalam hal puasa Ramadhan dan hari raya, yang lebih diprioritaskan, dikedepankan dan “dimutlakkan” adalah prinsip kebersamaannya. Adapun tentang cara, metode dan madzhab penentuan, maka sepakat disikapi sebatas sebagai wasilah dan sarana saja yang bersifat relatif, dan yang harus bisa ditoleransikan serta dikompromikan!
Saya tidak ingat benar kapan tepatnya pertama kali menulis dan atau concern berpromosi tentang tema u yang satini. Yakni tentang tema seruan persatuan Ummat terkait dengan penetapan awal Ramadhan, Idul Fitri dan Idul Adha. Yang jelas, sejak beberapa tahun terakhir, dan insya-allah seterusnya wallahu a’lam sampai kapan, dalam berbagai forum, saya selalu mengangkat topik ajakan penyatuan dan persatuan Ummat ini pada setiap momentum menjelang Ramadhan dan dua hari raya. Dengan satu target dan harapan, semoga segera terwujud sebuah pola kesepakatan tertentu antar seluruh komponen Ummat Islam bersama Pemerintah, yang akan menjamin selalu terjadinya kesatuan dan persatuan serta kesamaan dan kebersamaan, secara by design dan bukan sekadar by accident, dalam mengawali setiap puasa Ramadhan, dalam mengakhirinya dan dalam berhari raya, baik Idul Fitri maupun Idul Adha.
Namun, mengapa masalah penetapan awal puasa Ramadhan dan hari raya jadi begitu penting dalam konteks harapan persatuan Ummat? Ya karena, menurut saya, memang disinilah antara lain terletak pertaruhan harapan besar itu. Sebab terwujudnya persatuan dan kebersamaan dalam konteks ini semestinya dan seharusnya termasuk yang paling dekat dan riil, dibandingkan dengan konteks-konteks lain. Dimana jika telah bisa dicapai kesepakatan yang membuat seluruh Ummat selalu bisa bersama-sama dan serempak dalam memulai puasa dan dalam berhari raya, maka berarti harapan terjadinya persatuan dan kebersamaan dalam hal-hal dan bidang-bidang lainpun, insya-allah akan semakin dekat. Adapun bila kesepakatan dan kebersamaan soal penetapan Ramadhan dan hari raya, yang sebenarnya sudah di depan mata ini saja ternyata masih juga sulit tercapai, seperti yang terjadi sampai detik ini, maka berarti harapan yang lebih besar akan terwujudnya persatuan dan kebersamaan Ummat Islam di negeri ini dalam berbagai aspek lainpun, masih lebih jauh lagi dan lagi!
Tapi bagaimanapun harapan tetap tidak boleh redup. Kita tetap tidak boleh berputus asa. Ya, kita tetap wajib terus dan senantiasa berharap seoptimis mungkin – dan sekaligus berupaya riil – akan terjadinya kesepakatan dan persatuan itu suatu saat. Yakni melalui pola kesepakatan dan kesepahaman tertentu atas dasar semangat toleransi dan kompromi, yang akan menjamin selalu terwujud dan terjadinya kebersamaan indah yang didamba-damba itu. Dan semoga itu tidak jauh dan tidak lama lagi. Karena secara syar’i (menurut syariat) dan waqi’i (tuntutan realita), memang semestinya ummat Islam di Indonesia selalu bersepakat dan bersatu serta bersama-sama setiap kali mengawali shaum Ramadhan, ber-Idul Fitri dan ber-Idul Adha. Disamping memang sangat mungkin dan dekat sekali realisasinya, hal itu adalah juga merupakan tanggung jawab dan kewajiban kita bersama. Setidaknya karena tiga alasan:
Pertama, shaum Ramadhan dan ‘Iedain (dua hari raya) merupakan bagian dari jenis ibadah dan momen syi’ar kebersamaan (sya’a-ir jama’iyyah), dimana semestinya seluruh kaum muslimin selalu memulai puasa secara bersama-sama, mengakhirinya secara bersama-sama, dan bergembira dalam merayakan ‘Iedain juga secara bersama-sama, dan tidak sendiri-sendiri atau masing-masing. Tentu itu khususnya atau minimal dalam satu negara atau satu wilayah yang sama. Itulah tuntunan syariat Islam berdasarkan hadits-hadits dan praktik ummat Islam sejak generasi salaf dan seterusnya sepanjang sejarah panjang Islam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,”Ash-shaumu yauma tashuumuun, wal-fithru yauma tufthiruun, wal-adh-haa yauma tudhahhuun” (Puasa Ramadhan adalah pada hari dimana kalian semua bersama-sama berpuasa. Idul Fithri adalah pada hari dimana kalian semua bersama-sama ber-’Iedul Fitri. Dan ‘Iedul Adha adalah juga pada hari dimana kalian semua bersama-sama ber-’Iedul Adha) (HR Tirmidzi, Abu Dawud dan Ibnu Majah; dishahihkan oleh Ahmad Syakir dan Al-Albani).
Oleh karena itu di dalam sejarah Islam tidak kita temukan adanya perbedaan dalam mengawali puasa Ramadhan dan khususnya dalam berhari raya di satu wilayah, satu kota, satu kampung, apalagi di satu rumah, sebagaimana yang sering terjadi disini selama ini. Yang pernah terjadi semenjak masa sahabat hanyalah perbedaan antara wilayah yang berjauhan, seperti yang kita dapati dalam hadits Kuraib (HR Muslim, Ahmad dan Tirmidzi) dimana pernah terjadi Ibnu ‘Abbas dan para sahabat di Madinah menetapkan Ramadhan dan Idul Fitri berdasarkan hasil rukyat khusus di Madinah yang ternyata berbeda dengan hasil rukyat Khalifah Mu’awiyah dan kaum muslimin di Syam. Sehingga dengan demikian, untuk saat ini tentu saja ditolerir jika perbedaan itu terjadi antar negara di dunia. Tapi untuk masing-masing negara tidak semestinya hal itu masih juga terjadi.
Kedua, masalah perbedaan dalam hal penentuan awal Ramadhan, Idul Fitri dan Idul Adha, adalah salah satu contoh masalah dimana adanya perbedaan (ikhtilaf) hanya ditolerir dalam hal metode dan cara penetapan di tingkat teori dan wacana saja. Tapi tidak ditolerir di tataran praktik dan implementasi di lapangan kehidupan nyata. Inilah yang kita tahu dan catat dari praktik imam-imam dan ulama-ulama berbagai generasi sepanjang sejarah ummat Islam. Dimana sejak dulu telah terjadi perbedaan dan perselisihan antar madzhab para imam dalam teori dan wacana cara penetapan awal bulan Hijriyah, antara metode rukyat dan hisab, bahkan antara metode rukyat global dan rukyat lokal. Dimana sebagai konsekuensinya, tentu saja sangat logis jika dari waktu ke waktu sering terdapat potensi terjadinya perbedaan dalam hasil dan keputusan akhir. Namun ternyata perbedaan itu, andai terjadi, hanya berhenti di tataran teori dan wacana saja, dan sama sekali tidak terlihat di tataran realita. Karena secara praktik dan fakta sejarah, para ulama, dan seluruh ummat bermakmum di belakang mereka, selalu saja bisa bersepakat dan bersama-sama dalam mengawali puasa Ramadhan, ber-Idul Fitri dan ber-Idul Adha, kecuali antar wilayah yang berjauhan.
Ketiga, kita ummat Islam di Indonesia, yang nota bene sebagai negara muslim terbesar, rasanya patut malu, seraya berintrospeksi diri. Karena bahkan dalam hal ibadah dan momen kejamaahan, kebersamaan dan persatuan seperti puasa Ramadhan dan dua hari raya ini-pun masih saja kita “bersikeras” untuk “memilih” berbeda-beda dan berselisih, serta belum siap atau “belum mau” untuk bersepakat dan bersatu. Padahal saat ini, mungkin hanya tinggal Indonesia saja, sekali lagi, HANYA TINGGAL INDONESIA SAJA, satu-satunya negara di dunia dimana ummat Islam-nya masih tetap belum juga siap berkompromi dan bersatu dalam bab ini . Sedangkan ummat Islam lain di tiap negara di dunia, bahkan termasuk di sejumlah negara daratan Eropa sekalipun, umumnya telah bisa selalu berkompromi, bersatu dan bersama-sama dalam memulai puasa Ramadhan dan berhari raya, secara by design dan bukan by accident!
Akhir kata, meskipun faktanya kita masih belum bisa berkompromi untuk bersatu dan bersama-sama dalam hal ini, maka perbedaan dan perselisihan yang masih terjadi, tetaplah harus selalu kita semua sikapi dengan arif, bijak, dewasa, dan proporsional. Yakni dengan mengedepankan sikap toleransi terhadap pendapat lain, sesuai kaedah penyikapan terhadap setiap masalah khilafiyah. Sehingga tidak terjadi dampak-dampak yang lebih buruk lagi. Dan di saat yang sama, harapan tetap dan terus kita gantungkan pada rahmat Allah, lalu pada sikap bijak para ulama kita, para tokoh kita, dan pada para pimpinan ummat kita! Diiringi doa semoga Allah merahmati kita semua agar bisa bertemu dengan bulan Ramadhan sebentar lagi, tidak asal bertemu begitu saja, melainkan dengan pertemuan berbarakah yang istimewa, sehingga mampu menggapai derajat taqwa nan istimewa pula di bulan penempaan diri yang suci dan mulia itu nantinya. Aamiin! (H. Ahmad Mudzoffar Jufri, MA)