Surat ini terdiri atas 19 ayat, termasuk golongan surat-surat Makkiyah dan diturunkan sesudah surat An-Naazi’aat. Al-Infithaar yang dijadikan nama untuk surat ini adalah kata asal dari kata infatharat (terbelah) yang terdapat pada ayat pertama.
Pokok-pokok isi surat ini adalah peristiwa-peristiwa yang terjadi pada hari kiamat; peringatan kepada manusia agar tidak terpedaya sehingga durhaka kepada Allah; adanya malaikat yang selalu menjaga dan mencatat segala amal perbuatan manusia; pada hari kiamat manusia tak dapat menolong orang lain; hanya kekuasaan Allah-lah yang berlaku pada waktu itu.
Pada ayat 1-4 Allah SWT menjelaskan tentang dahsyatnya kejadian pada hari kiamat, diantaranya langit akan terbelah, bintang-bintang akan berhamburan, dan lautan akan meluap. Untuk lebih jelasnya mari kita tadabburi ayat-ayatnya satu persatu.
إِذَا السَّمَاءُ انفَطَرَتْ
1. Tatkala langit terbelah
Ayat ini berbicara tentang akhir waktu dan awal kehidupan berikutnya. Infatharat berasal dari kata kerja yang artinya ‘retak, koyak atau pecah berantakan’. Fithrah, dari akar kata yang sama, berarti ‘sifat bawaan lahir, naluri’. Kata fitrah secara inheren mengingatkan pada gagasan tentang ‘asal-mula’, dan, sebagaimana nampak dari bentuk-bentuk katanya yang berkaitan, menunjukkan bahwa asal-mula sesuatu bersumber dari retakan. Al-Qur’an mengatakan bahwa bumi berbentuk telur, dan ketika air muncul maka bumi pun retak sehingga memudahkan terjadinya pertumbuhan sesuatu dari dalam bumi. Berdasarkan apa yang nampak dan secara simbolis, segala sesuatu berasal dari satu sumber awal yang mendadak masuk ke dalam arus penciptaan yang bersaluran banyak.
Lelangit dipersatukan oleh kekuatan-kekuatan berbeda yang menjaga agar bintang-bintang dan planet-planet tetap berada dalam orbitnya yang teratur. Jika sistem tersebut retak, maka tatanan ini akan rusak. Implikasinya disini adalah bahwa bila sistem eksistensi di alam ini—baik untuk kita maupun untuk makhluk lain, seperti jin—sudah mencapai suatu titik yang merupakan akhir perkembangan, maka sistem tersebut akan mulai runtuh. Setiap sistem yang ada bersifat terbatas kecuali yang hakiki, yakni Allah yang meliputi semua sistem.
وَإِذَا الْكَوَاكِبُ انتَثَرَتْ
2. Dan tatkala bintang-bintang bertebaran.
Beginilah yang terjadi sebagai akibat dari ayat pertama. Intatsarat artinya ‘bertaburan secara serampangan’. Kawâkib adalah ‘planet-planet’. Langit retak, planet-planet yang terdekat kepada kita akan bertaburan.
Kawkaba, akar kata yang merupakan asal kata kawâkib, artinya ‘bersinar cemerlang’, terutama digunakan untuk menggambarkan kilau besi yang mengkilat. Jika suatu ‘hari’ digambarkan sebagai kawkabi, berarti hari tersebut memiliki arti penting atau kesulitan tertentu.
Intatsara yang berarti ‘bertaburan atau berhamburan, bertebaran’, menunjukkan bahwa pertaburan ini terjadi secara serampangan meskipun mengikuti pola tertentu.
وَإِذَا الْبِحَارُ فُجِّرَتْ
3. Dan tatkala lautan naik meluap-luap.
Bila kekuatan atau sistem yang menjaga keutuhan alam semesta lenyap, maka terjadilah ledakan. Fujjirat berasal dari fajjara, yang berarti ‘menyebabkan mengalir, membelah, meledak’. Sistem yang ada akan meluap melampaui batas asalnya dan hancur dengan cepat.
Kata kerja fajara mempakan sumber kata yang kaya makna, yang makna-maknanya semua bertalian secara logis, sehingga perlu mendapat perhatian lebih jauh. Fajr (subuh) dihubungkan dengan fajara. Malam, yakni kegelapan yang menyelubungi, dirobek oleh sorotan pertama cahaya pagi, karena itu kata tersebut diartikan ‘fajar sidik’. Infijar adalah ‘ledakan, letusan, atau letupan’. Dalam Al-quran, fujur (kejahatan, imoralitas) biasanya menunjukkan pelanggaran, tindakan kelewat batas, melampaui batas jalan. Bila seseorang dikatakan sebagai seorang fajir maka artinya orang tersebut merosot akhlaknya dan bermoral bejat tak punya malu.
Hasan al-Bashri, salah seorang murid Ali ibn Abi Thalib, mengatakan bahwa maksud dari ayat ini berkenaan dengan ‘air yang mengering’ karena air tersebut mengalir kembali ke sumber asalnya. Planet-planet yang menahan kita dalam orbit, yang terhubung dengan kita dan paling berpengaruh terhadap kehidupan kita, akan bertebaran. Demikian pula, lautan akan kosong, yang padat akan kembali mencair, dan uap akan kembali hampa. Kita akan melihat segala sesuatu terbalik dan kita pasti akan mengalaminya.
وَإِذَا الْقُبُورُ بُعْثِرَتْ
4. Dan tatkala kuburan-kuburan dibuka.
Kini keruntuhan dunia semakin dekat. Tempat istirahat terakhir adalah kuburan, yang merupakan tempat kedamaian. Ba’tsara, akar dari bu’tsirat, berarti ‘tersebar di sana-sini, terbalik, menjebloskan ke dalam kekacauan’. Ayat ini menggambarkan akibat lain dari terjadinya gangguan, antara lain, dalam daya gravitasi dan sentrifugal yang mempersatukan dunia. Pemakaman akan menyembul dan kuburan-kuburan akan terbuka. Apapun yang disembunyikan dan dirahasiakan oleh setiap jiwa akan tersingkap melalui pembukaan ini.
عَلِمَتْ نَفْسٌ مَّا قَدَّمَتْ وَأَخَّرَتْ
5. Setiap jiwa akan mengetahui apa yang ditempatkan di depan dan apa yang dibiarkan di belakang.
Nafs di sini berarti ‘roh’, atau ‘jiwa’. Akar katanya dihubungkan dengan tanaffasa, yang merupakan kata kerja ‘bernafas’. Nafs adalah entitas kompleks yang meliputi sebab sejati eksistensinya, yakni roh. Kata ruh dalam bahasa Arab berkaitan dengan ‘angin’, karena sifatnya yang bebas mengalir.
Qaddamat, di sini diterjemahkan sebagai ‘[ia] menempatkan di depan’, kata kerja yang akarnya adalah qadam, artinya ‘kaki’, yakni, apa yang kita letakkan di hadapan kita untuk bergerak ke depan menuju sesuatu yang baru. Kita hanya mengupayakan apa yang sesuai dengan tujuan kita. Kalau tujuan kita adalah menyampaikan dan memperoleh pengetahuan tentang realitas, maka semua kekuatan di sekitar kita akan membantu.
Ayat ini mengatakan bahwa bila semua peristiwa tersebut tadi terjadi, maka niat seseorang akan terlihat jelas oleh dirinya sendiri, meskipun sebelumnya mungkin ia nyaris tidak memikirkan alasan untuk melakukan sesuatu perbuatan. Itulah sebabnya mengapa dikatakan bahwa lebih baik sama sekali tidak berbuat sebelum niat kita jelas, karena perbuatan hanya sesuai dengan niat yang mendahuluinya, dan kehidupan kita akan diuji. Jika kita memulai dengan hal nyata, maka kita akan membuat kemajuan. Umpamanya, menafkahi keluarga adalah suatu perbuatan yang patut dipuji. Karena bertindak dengan niat yang baik maka seseorang akan mencapai suatu titik di mana ia mulai haus akan pengetahuan, dan hal ini membawa dia kepada pengingatan akan Allah (zikir), yang pada gilirannya menggiring kepada kesunyian batin. Jika kita berbuat dengan ketulusan hati, maka keadaan zikir akan dicapai bagaimana pun juga, karena, seperti dikatakan dalam Alquran, “Sesungguhnya la Maha Pengampun lagi Maha Penyayang!’
Akhkhara artinya ‘menunda, menangguhkan, menghalangi, mengembalikan’, secara tidak langsung menunjuk kepada apa yang telah disembunyikan. Makna ayat ini adalah bahwa pada hari itu setiap nafs akan benar-benar menampakkan diri, warna, nada, dan iramanya. Roh berawal sebagai kekuatan sejati, dan substansinya terbuat dari suatu unsur yang dengan itu setiap roh lain dapat berhubungan. Oleh karena itu setiap roh akan melihat roh lainnya dengan jelas, tidak seperti sekarang di mana kita dapat menyembunyikan bagian-bagian dari diri kita yang tidak ingin diketahui orang lain. Oleh karena itu, semakin terbuka kita di sini dan saat ini, dan semakin siap kita hidup di sini dan saat ini, maka kita pun semakin siap untuk menghadapi yang akan terjadi kelak. Kita harus memperhatikan cara hidup kita, sepenuhnya dan secara total. Jika seseorang sungguh-sungguh ingin menerapkan hal ini, ia akan mencapai kesimpulan bahwa cara mewujudkannya adalah dengan membersihkan setiap niat dan merangkaikannya dengan perbuatan yang benar dan dengan sungguh-sungguh bersikap terbuka, tidak menutup-nutupi, dan siap ditanya.
Smoga ini menjadi petunjuk agar kita lebih berTawakkal kpd Allah SWT…Amiin