Tanpa banyak disadari, ternyata selama ini telah terjadi pergeseran persepsi, pemahaman dan penyikapan dari banyak pihak umat Islam terhadap esensi syariah qurban, sehingga hampir menjadi sekadar momen berbagi dan sebatas sarana bersedekah daging. Meskipun dalam qurban terdapat aspek dan dimensi sosial dengan berbagi dan bersedekah, namun itu sama sekali bukanlah esensi dan substansinya. Esensi dan hakekat qurban pada setiap hari raya Idul Adha, seperti yang segera hadir beberapa hari ini, justru terletak pada prosesi penyembelihan salah satu dari tiga jenis hewan ternak, sebagai sebuah ibadah ritual persembahan spesial, wujud penghambaan, wasilah (sarana) taqarrub (pendekatan diri) dan syiar deklarasi tauhid hanya kepada Allah Ta’ala.
Sedangkan porsi berbagi atau bersedekah daging dan semacamnya, hanyalah sebatas efek dan konsekuensi saja dari ibadah istimewa ini. Tak beda seperti efek kesehatan misalnya dan semacamnya yang didapat seorang muslim dari ibadah shalat, atau puasa, atau haji, dan lain-lain, yang dilakukannya. Sehingga seseorang yang berqurban dengan niat dan motivasi utama untuk sekadar bersedekah daging, secara umum hampir sama dengan yang menjalankan shalat misalnya dengan niat dan motivasi utama sekadar untuk mendapatkan manfaat kesehatan dari gerakan-gerakan yang terbukti menyehatkan dalam praktik ibadah paling asasi tersebut. Jadi intinya, kita harus menunaikan prosesi penyembelihan hewan qurban, dengan niat dan motivasi utama sebagai ibadah persembahan ritual, bentuk deklarasi iman dan tauhid, serta sekaligus wasilah taqarrub (sarana pendekatan diri) kepada-Nya. Adapun tentang niatan-niatan dan motivasi-motivasi lain seperti bersedekah dan semacamnya, yang juga ada dan menyertai, maka itupun tidak mengapa, selama sifat dan kapasitasnya sebatas sebagai faktor penyerta tambahan, dan bukan yang utama atau asasi.
Tentu saja banyak potensi akibat buruk dan dampak negatif dari dominannya persepsi dan penyikapan qurban sebagai sekadar momen sedekah daging tersebut. Disamping secara sudut pandang syar’i memang tidak benar, kesalahan persepsi itu juga bisa berakibat terabaikannya banyak ketentuan dan syarat ritual ibadah qurban yang menjadikan prosesi penyelenggaraan ibadah spesial hari raya Idul Adha tersebut tidak sempurna atau bahkan bisa lebih fatal lagi, membuatnya tidak sah. Karena bagi yang berpersepsi salah seperti itu, utamanya bila menjadi pengelola qurban, maka yang akan menjadi fokus perhatiannya, hanyalah yang penting hewan tersembelih dengan cara syar’i yang menjadikannya halal dimakan, dikonsumsi dan dibagi. Itu saja. Sedangkan apakah prosesi penyembelihan dan pengelolaan telah memenuhi berbagai syarat ketat dan ketentuan detail yang membuat qurban sah sebagai sebuah bentuk ibadah yang sangat spesial, maka itu semua bisa lepas sama sekali dari kepedulian dan perhatiannya. Dan tentu saja, dari sudut pandang syar’i, itu berbahaya sekali.
SEMBELIHAN (DZABA-IH) DI DALAM ISLAM:
Perlu dipahami dan diingat bahwa, di dalam Islam terdapat dua macam sembelihan. Pertama, sembelihan penghalalan (dzaba-ih dzakah/tadzkiyah), dengan tujuan sekadar agar hasil sembelihan menjadi halal dikonsumsi. Kedua, sembelihan ritual (dzaba-ih nusuk/‘ibadah), sebagai ibadah persembahan yang merupakan bukti penghambaan dan ketaatan kepada Allah, dalam rangka menjalankan syariah-Nya dan mengikuti sunnah Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam. Dimana antara kedua jenis sembelihan tersebut, terdapat banyak sekali perbedaan yang sebagian besarnya sangat esensial dan substansial. Baik dalam hakekat masing-masing, konsekuensi syar’inya, dimensinya, prosesinya, syarat-syaratnya, dan hal-hal lainnya.
Dalam sembelihan penghalalan (dzaba-ih dzakah/tadzkiyah), masalah utamanya hanya terkait dengan apakah hasil sembelihan itu halal atau haram untuk dimakan dan dikonsumsi. Dan untuk tujuan itu syaratnya sangat sederhana sekali. Yakni cukup dengan tiga syarat saja, yaitu: satu, hewan yang disembelih tidak termasuk yang haram dimakan; dua, penyembelihnya seorang muslim; dan tiga, disebut nama Allah saat penyembelihan, minimal dengan ucapan bismillah. Sedangkan dalam sembelihan ritual ibadah (dzaba-ih nusuk/’ibadah), masalah utamanya terkait dengan apakah sembelihan yang ditunaikan telah sah ataukah tidak sebagai bentuk ibadah persembahan kepada Allah Ta’ala, sesuai syarat-syarat detail dan rinci yang telah ditetapkan. Bahkan lebih dari itu, masalahnya juga masuk dalam ranah sunnah atau bid’ah, dan lebih jauh lagi sampai ke wilayah tauhid atau syirik. Dimana jika benar-benar sesuai dengan syarat dan ketentuan ketat yang ditetapkan, sembelihan ritual ibadah adalah merupakan bentuk deklarasi tauhid pelakunya. Sementara itu bila menyalahi syarat dan ketentuan, sembelihan ritual yang dilakukan seseorang tidak hanya tidak halal dan tidak sah, atau juga bid’ah, melainkan bahkan bisa merupakan sebuah bentuk kesyirikan dan prilaku penyekutuan terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan demi sah apalagi sempurnanya pelaksanaan sembelihan ritual ibadah, syarat-syarat yang harus dipenuhi tidaklah sesederhana sembelihan biasa yang dengan tujuan sekadar agar dagingnya halal dimakan saja, melainkan sangat ketat, detail dan banyak sekali, sebagaimana yang bisa dilihat dalam contoh syarat-syarat ritual pelaksanaan penyembelihan hewan qurban yang insya-allah akan disebutkan dibawah nanti.
Dan bila sifat sembelihan penghalalan sangat longgar sekali terkait dengan macam-macamnya, kebutuhan atau tujuannya, jenis hewannya, kriteria-kriterianya, momen atau waktunya, tempat dan lain-lainnya, maka dalam hal sembelihan ritual ibadah, sifatnya sangat terbatas sekali. Dimana hanya ada tiga jenis saja sembelihan ritual ibadah yang dituntunkan dan dibenarkan di dalam ajaran Islam kita. Dan ketiganya adalah: sembelihan qurban, sembelihan aqiqah dan sembelihan terkait haji dan umrah di Tanah Suci Mekkah, yang biasa dikenal dengan nama hadyu atau dam. Sehingga semua bentuk sembelihan ritual persembahan, diluar ketiga jenis tersebut, yang tak jarang dilakukan sebagian masyarakat sebagai syarat ritual bagi terwujudnya kepentingan dan hajat tertentu dalam hidup mereka, adalah merupakan bentuk kebid’ahan, penyimpangan dan bahkan kesyirikan. Seperti misalnya sembelihan-sembelihan ritual persembahan yang acapkali dijadikan sebagai syarat ritual bagi beragam hajat hidup semisal penyembuhan penyakit, percepatan jodoh, perlindungan diri atau tempat, pelancaran bisnis, pensuksesan karir, pendirian rumah atau gedung apapun, pembangunan jembatan, penolakan bala’, “pensedekahan bumi”, dan lain-lain.
IBADAH RITUAL SPESIAL
Dalam pelaksanaan syariah qurban terdapat tiga aspek dan dimensi utama. Pertama, aspek atau dimensi ritual; kedua aspek atau dimensi syiar; dan ketiga aspek atau dimensi sosial. Ketiga aspek dan dimensi tersebut tentu saja penting, dan sebisanya harus diupayakan agar diwujudkan semuanya. Namun yang merupakan inti, esensi dan substansi dari syariah qurban ini tetaplah dimensi ibadah ritualnya, dan sama sekali bukan aspek sosialnya. Maka aspek dan dimensi inilah yang harus menjadi landasan niat dan dasar motivasi utama setiap pequrban, sekaligus yang juga harus mendominasi persepsi, orientasi, dan penyikapan setiap pengemban amanah penyembelihan qurban dari masyarakat, baik itu panitia qurban di masjid-masjid, lembaga-lembaga sosial, maupun yang lainnya. Dan itu harus dibuktikan dengan perhatian yang lebih diutamakan dan diprioritaskan terhadap aspek pemenuhan syarat-syarat yang menjamin sah dan atau sempurnanya prosesi penyelenggaraan qurban dalam kapasitasnya sebagai ibadah ritual spesial, disamping merupakan syiar utama hari raya Idul Adha, sebelum perhatian terhadap aspek pemanfaatan dan pendistribusian yang bersifat sangat longgar sekali, dimana di dalamnya terdapat unsur sedekah dan berbagi, yang hanya merupakan salah satu saja dari beragam bentuk pemanfaatan dan bermacam sasaran pengalokasian hasil sembelihan hewan ibadah qurban.
Mungkin demi menegaskan dominan, kental dan spesialnya aspek ritual ibadah tersebut, sehingga Allah Ta’ala menggandengkan dan mensejajarkan perintah berqurban serta ibadah menyembelih, dengan perintah dan ibadah ritual nomor satu di dalam Islam, yakni shalat! Allah Ta’ala berfirman (yang artinya): “Maka dirikanlan shalat karena Tuhanmu, dan berqurbanlah (karena Tuhanmu pula)” (QS. Al-Kautsar [108]: 2). “Katakanlah: “Sesungguhnya shalatku, ibadah sembelihanku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam; tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku, dan aku adalah orang yang pertama-tama berserah diri (kepada Allah)” (QS. Al-An’am [6]: 162).
SYIAR UTAMA IDUL ADHA
Salah satu aspek sangat penting yang harus diperhatikan dan diupayakan agar diwujudkan dalam prosesi pelaksanaan ibadah qurban, adalah sifat dan kapasitasnya sebagai syiar utama hari raya Idul Adha. Karena memang qurbanlah amalan yang paling utama, mulia dan istimewa diantara amalan-amalan hari raya ini. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda (yang artinya): “Tiada satu amal pun yang dilakukan seorang anak manusia pada Yaumun-Nahr (hari raya qurban) yang lebih dicintai oleh Allah selain menumpahkan/mengalirkan darah (hewan qurban yang disembelih). Maka berbahagialah kamu karenanya” (HR. At-Tirmidzi, Ibnu Majah dan Al-Hakim dengan sanad yang shahih). Dan perlu diingat serta diperhatikan bahwa, aspek syiar paling utama dari ibadah qurban yang dimaksud itu adalah pada prosesi penyembelihannya, dan bukan pada pendistribusiannya misalnya atau yang lainnya. Karena memang prosesi penyembelihanlah yang menjadi esensi dan substansi utama ritual ibadah dan syariah berqurban ini. Dimana untuk menguatkan makna tersebut, dalam hadits dimuka, Baginda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sampai sengaja memilih ungkapan bahasa yang sangat vulgar untuk membahasakan qurban sebagai amal ibadah yang paling dicintai oleh Allah Ta’ala di hari raya Idul Adha, yakni mengungkapkannya dengan kata-kata “ihraqid dam/iraqatid dam”, yang berarti menumpahkan/mengalirkan darah (hewan qurban yang disembelih).
Oleh karena itu penting sekali menjadi perhatian besar semua pihak yang berkepentingan, baik pequrban sendiri, para panitia maupun khususnya lembaga-lembaga sosial pengemban amanah qurban kaum muslimin bahwa, kepentingan menyemarakkan dan apalagi tujuan menghidupkan syiar ibadah dan sunnah penyembelihan hewan qurban, harus menjadi salah satu faktor pertimbangan utama dalam penyebaran hewan qurban yang tersedia dan pelaksanaan penyembelihannya. Disamping itu janganlah semangat pengoptimalan pemberdayaan dan pelipat gandaan manfaat pendistribusian, sampai mengorbankan dan menghilangkan aspek syiar dari prosesi ritual penyembelihan hewan qurban. Sebagai sekadar contoh misalnya, salah satu bentuk pengelolaan qurban, yang paling berpotensi bisa “menghapus” aspek dan dimensi syiar dari ritual penyembelihan hewan persembahan ini, adalah proyek pengalengan dan pengkornetan daging qurban. Secara sudut pandang syar’i, sebenarnya pengalengan dan pengkornetan ini bisa saja tetap ditolerir dan dibolehkan. Apalagi bila dilihat dari sudut dan aspek pemberdayaan serta pengoptimalan manfaat.
Namun ada dua hal yang wajib diperhatikan disini. Pertama, pengawalan terhadap proses penyembelihan dan pengelolaan, haruslah ketat, demi memastikan termenuhinya syarat-syarat dan terlaksananya ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan, dan agar jangan sampai ada yang dilanggar, utamanya bila pelanggaran bisa berakibat tidak sahnya sembelihan hewan sebagai bentuk amal ibadah ritual persembahan kepada Allah. Kedua, meskipun ditolerir, namun metode pengalengan dan pengkornetan tetap tidak dibenarkan bila sampai dijadikan sebagai kaidah dan prioritas utama dalam pelaksanaan dan pengelolaan qurban. Kapasitas dan porsinya seharusnya hanya sebagai semacam “pengecualian” saja. Sehingga prosentase hewan qurban yang dimasukkan dalam proyek pengalengan dan pengkornetan, tetaplah harus lebih kecil daripada yang diselenggarakan dengan cara dan sistem konvensional biasa seperti yang dikenal selama ini. Karena jika prosentase yang dikalengkan dan dikornetkan lebih besar apalagi bila malah semuanya, dimana pelaksanaannya akan terpusat pada satu, dua atau tiga titik lokasi saja misalnya, maka akibat buruk dan dampak negatifnya akan sangat dahsyat sekali. Soalnya dengan demikian, berarti kesemarakan syiar ritual ibadah dan sunnah penyembelihan hewan qurban, akan otomatis hilang dan sirna, atau setidaknya sangat minim sekali di tengah-tengah masyarakat. Dan tentu saja kondisi seperti ini tidak boleh dan tidak dibenarkan terjadi! (H. Ahmad Mudzoffar Jufri/Ketua Deputi Pendidikan PW Ikadi Jatim)