Ramadhan Bulan Al Qur’an

  • Sumo

Allah Ta’ala berfirman (yang artinya): “Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang haq dan yang bathil).” (QS.Al-Baqarah: 185). Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda (yang artinya): ”Sesungguhnya Allah meninggikan dengan Al-Qur’an ini derajat kaum-kaum tertentu (karena berinteraksi dengannya secara baik), dan merendahkan dengannya pula derajat kaum-kaum yang lain lagi (karena mengabaikan, menjauhi dan meninggalkannya)” (HR.Muslim).

Al-Qur’an sebagai sumber petunjuk, cahaya dan rahmat bagi kaum muttaqin, merupakan salah satu kunci utama yang paling efektif untuk membuka pintu-pintu perubahan dan perbaikan dalam diri pribadi dan kehidupan ummat serta masyarakat beriman. Dan hal itu hanya bisa terwujud melalui adanya pola interaksi dan hubungan yang baik dan harmonis dengan Kitabullah ini. Semakin dekat dan harmonis hubungan seseorang atau suatu masyarakat dengan Al-Qur’an, maka akan semakin terbukalah pintu-pintu perubahan dan perbaikan dalam kehidupan orang dan masyarakat tersebut. Dan Ramadhan adalah momentum yang paling tepat dan kondusif untuk membangun dan meningkatkan keharmonisan hubungan dan interaksi dengan wahyu terakhir dari Allah ini, yakni dengan berkomitmen untuk melakukan hal-hal sebagai berikut:

Memperbaharui (tajdid) kualitas iman kepadanya.

Beriman kepada Al-Qur’an dengan benar, jujur, dan sungguh-sungguh berarti  beriman kepadanya dengan memenuhi segala konsekuensinya, yakni dengan mengikutinya, menjadikannya petunjuk dan pedoman, memenuhi larangan dan perintahnya, dan sebagainya. Tidak cukup dengan hanya mengetahui atau mengakui bahwa Al-Qur’an itu wahyu Allah yang diturunkan kepada Rasul-Nya. Sebab jika iman kepada Al-Qur’an hanya sebatas itu, tentu tidak berbeda dengan yang dilakukan oleh orang-orang kafir sejak dahulu kala, dimana mereka memang mengetahui atau mengakui bahwa Al-Qur’an adalah benar-benar wahyu Allah.

Menjadikan Al-Qur’an sebagai wirid

Wirid disini berarti aktivitas yang kita lakukan secara kontinyu dan terjadual. Sebagian wirid Qur’ani tersebut bisa jadi dilakukan setiap hari, seperti membacanya, mendengarkannya, dan menjadikannya dzikir. Bisa jadi pula beberapa wirid Qur’ani yang lain – seperti menghafalnya – tidak dilakukan setiap hari, tetapi yang jelas kontinyu dan terjadual. Sebagaimana seseorang menjadikan baca koran sebagai ‘wirid’ hariannya, seperti itu pula minimal seseorang menjadikan Al-Qur’an sebagai wirid hariannya. Bahkan, porsi membaca Al-Qur’an semestinya lebih banyak daripada porsi membaca koran.

Wirid membaca ( wirdut-tilawah )

Sebagaimana telah sering disebutkan, membaca Al-Qur’an memiliki banyak sekali keutamaan. Sekedar membaca saja ayat-ayat Al-Qur’an sudah merupakan suatu ibadah tersendiri yang pahalanya dihitung huruf demi hurufnya. Dan yang lebih esensial, membaca ayat-ayat Al-Qur’an merupakan pintu masuk untuk bisa berinteraksi lebih jauh dengan Al-Qur’an. Karena itu, kita harus banyak-banyak melakukannya.

Wirid mendengarkan ( wirdul-istima’ )

Rasulullah sendiri telah mencontohkan bahwa ada saat-saat dimana beliau lebih suka mendengarkan Al-Qur’an dari bacaan orang lain. Ketika suatu saat Rasulullah meminta salah seorang sahabat membacakan Al-Qur’an untuk beliau, sahabat tersebut bahkan sampai bertanya,”Apakah saya akan membacakannya untuk Anda, wahai Rasulullah, sementara Al-Qur’an diturunkan kepada Anda?” Beliau menjawab,”Saya suka mendengarkannya dari orang lain”. Demikianlah kita juga harus gemar mendengarkan bacaan Al-Qur’an, apalagi kemajuan teknologi elektronik dan informasi saat ini sangat memungkinkan bagi kita untuk melakukannya dengan mudah.

Wirid mendengarkan ini juga sangat ditekankan kepada para wanita pada saat mereka sedang sangat disibukkan oleh urusan rumahnya atau pada saat sedang berhalangan sehingga tidak mungkin membacanya langsung. Dengan demikian, pada saat berhalangan pun seorang wanita tetap akan memiliki wirid yang bisa menjadi penjaga dirinya.

Dengan sering mendengarkan Al-Qur’an, kita akan lebih mudah menghafalnya. Sebagai contoh, dahulu ada seorang shahabiyah Nabi yang bisa menghafal Surah Qaaf karena mendengarkannya dari Nabi saw.

Wirid menghafal ( wirdul-hifdz )

Kita harus memiliki jadual menghafal Al-Qur’an, apakah setiap tiga hari sekali, sepekan sekali dan sebagainya. Sebagai generasi yang mencintai Al-Qur’an, sudah semestinya kita berusaha seoptimal mungkin untuk bisa menghafal ayat-ayat Al-Qur’an.

Wirid tadabbur ( wirdut-tadabbur )

Ayat-ayat Al-Qur’an tidaklah sekedar untuk dilafalkan huruf-hurufnya. Lebih dari itu, ayat-ayat yang kita baca dengan lisan hendaknya berusaha kita pahami, kita hayati dan kita renungkan. Dengan demikian, ayat-ayat yang kita baca tidak hanya keluar dari tenggorokan dan mulut kita tetapi juga masuk kedalam hati kita, mencerahkan pikiran dan mempertebal iman yang ada dalam dada.

Wirid dzikir Qur’ani (wirdudz-dzikr al-qur’ani )

Meskipun keseluruhan ayat-ayat Al-Qur’an adalah dzikir, akan tetapi yang terutama dimaksudkan disini adalah melakukan wirid dengan ayat-ayat dzikir yang dikhususkan, seperti Al-Fatihah, Ayat Kursi, Al-Ikhlas, Al-Falaq, An-Naas, tiga ayat terakhir Surah Al-Baqarah, dan sebagainya. Kita melakukannya pada setiap pagi dan petang, setiap seusai shalat fardhu, dan sebagainya, sesuai dengan yang telah dituntunkan oleh Sunnah Nabi saw.

Mengikuti, mengamalkan, berakhlaq, berhujjah dan berhukum dengannya.

Apapun yang diperintahkan oleh Al-Qur’an harus kita laksanakan, dan apapun yang dilarang oleh Al-Qur’an harus kita tinggalkan. Jangan sampai kita membaca Al-Qur’an akan tetapi pada saat yang sama kita menginjak-injaknya karena menyalahi apa yang dinyatakan didalamnya. Jangan pula kita mengetahui kandungannya namun kita menyembunyikan atau bahkan mengingkarinya. Terhadap Al-Qur’an sikap kita hanya satu : sami’na wa atha’na (kami mendengar dan kami mentaatinya).

Demikian pula hendaknya kita berakhlaq dengan akhlaq Al-Qur’an. Ketika Aisyah ditanya tentang akhlaq Rasulullah, beliau mengatakan, ”Akhlaq beliau adalah Al-Qur’an”. Ini artinya Rasulullah benar-benar mengimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari ajaran akhlaq yang dinyatakan dalam ayat-ayat Al-Qur’an. Ajaran akhlaq dalam Al-Qur’an telah terinternalisasi dalam diri beliau. (amj)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.