Sekarang kita sedang berada di awal tahun baru 1444 Hijriyah. Khalifah Umar bin Al-Khaththab telah menetapkan hijrah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dari Mekkah ke Madinah sebagai tonggak ditetapkannya penanggalan umat Islam, yang karenanya disebut sebagai penanggalan Hijriyah. Jika tahun ini adalah tahun 1444 Hijriyah, itu artinya 1444 tahun telah berlalu semenjak hijrahnya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam.
Hijrah sendiri dari sudut bahasa bermakna ‘berpindah dari satu tempat ke tempat yang lainnya’. Selama masa kenabian Rasulullah saw, telah terjadi tiga kali hijrah atas perintah Allah Ta’ala. Hijrah yang pertama adalah hijrahnya sebagian sahabat Nabi saw dari Mekkah ke Habasyah (Abbesinia, Ethiopia) dalam rangka untuk mencari tempat yang lebih aman, karena di Mekkah kaum musyrikin terus melakukan tekanan, intimidasi, dan tribulasi kepada para pengikut Nabi saw.
Adapun hijrah yang kedua adalah hijrahnya Nabi saw dari Mekkah ke Thaif. Ini dilakukan oleh Nabi saw karena kaum musyrikin semakin meningkatkan intimidasinya terhadap diri beliau, setelah Abu Thalib – paman dan sekaligus penjamin beliau – telah tiada. Namun setelah sampai di Thaif, ternyata Nabi saw justru diusir oleh para penduduknya.
Hijrah yang ketigalah yang akhirnya memberikan harapan besar kepada masa depan dakwah Islam. Rasulullah saw bersama para sahabatnya berhijrah dari Mekkah ke Yatsrib – yang belakangan kemudian diubah namanya oleh Nabi saw menjadi Madinah. Hijrah ini dilakukan pada tahun ke-13 kenabian (622 M), setelah adanya kepastian dukungan dari sekelompok penduduk Yatsrib – yang biasa disebut Anshar – bahwa mereka rela untuk mengorbankan segala yang mereka miliki, dalam keadaan suka maupun duka, untuk membela Rasulullah saw dan agama yang dibawanya. Peristiwa hijrah ke Madinah ini sedemikian penting, sampai-sampai Allah dan Rasul-Nya berlepas tangan dari orang-orang yang tidak mau turut berhijrah, kecuali mereka yang keadaannya benar-benar tidak memungkinkan.
Dalam peristiwa hijrah ke Madinah, para sahabat rela meninggalkan rumah, harta, dan sanak keluarga mereka di Mekkah, demi perjuangan untuk menegakkan agama Allah. Sudah begitu, mereka pun harus sembunyi-sembunyi untuk bisa berhasil melakukan hijrah. Sebuah pengorbanan yang amat besar, yang didasarkan kepada kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya, melebihi kecintaan terhadap apapun selain keduanya.
Segera sesudah Nabi saw tiba di Madinah, ada tiga hal yang pertama-tama beliau lakukan. Tiga hal tersebut merupakan pilar-pilar bagi terbentuknya masyarakat muslim yang kuat. Yang pertama adalah membangun masjid. Ini menunjukkan betapa pentingnya fungsi masjid bagi masyarakat muslim. Dalam sebuah masyarakat muslim, setiap orang semestinya selalu terikat dengan masjid. Dengan adanya masjid, diharapkan keimanan dan ketaqwaan setiap muslim akan senantiasa terjaga dan terpelihara. Demikian pula, masjid tidak hanya digunakan sebagai tempat sholat saja, tetapi juga sebagai madrasah untuk memberikan pencerahan kepada masyarakat, dan sebagai tempat untuk membicarakan berbagai permasalahan umat.
Hal kedua yang dilakukan oleh Nabi saw adalah mempersaudarakan antara muhajirin dan anshar. Ini menunjukkan bahwa persaudaraan atas dasar iman merupakan hal yang asasi untuk membentuk umat yang kuat. Dengan persaudaraan tersebut, umat akan bersatu dan tidak akan mudah tercerai-berai. Dan jika umat ini bersatu, niscaya umat ini akan menjadi lebih kuat.
Adapun hal ketiga yang dilakukan oleh Nabi saw adalah membuat konstitusi yang tertuang dalam Mitsaq Al-Madinah (Piagam Madinah). Piagam tersebut merupakan common-platform (kesepakatan bersama) antara seluruh elemen masyarakat Madinah, baik muslim maupun non-muslim. Piagam tersebut merupakan sebuah bukti bagaimana Islam mengayomi semua umat manusia, termasuk non muslim, karena Islam memang rahmatan lil ‘alamin.
Hijrah juga bisa dimaknai secara maknawiyah, yaitu berpindah dari keburukan kepada kebaikan. Hijrah dengan pengertian maknawiyah ini meliputi hijrah dari kekufuran menuju iman, hijrah dari jahiliyah menuju islam, hijrah dari syirik menuju tauhid, hijrah dari kemaksiatan menuju ketaatan, hijrah dari bid’ah menuju sunnah, hijrah dari jelek menjadi baik, hijrah dari baik menjadi lebih baik lagi, dan sebagainya. Adanya pengertian maknawiyah dari hijrah ini ditegaskan oleh Rasulullah saw dalam sabda beliau: “Seorang muslim adalah seseorang yang menghindari menyakiti muslim lainnya dengan lidah dan tangannya. Sedangkan orang yang berhijrah adalah orang yang meninggalkan semua apa yang dilarang oleh Allah.” (Shahih Al Bukhari, Kitabul Iman, Bab 4 Hadits No 10)
Bisa jadi tidak setiap kita perlu melakukan hijrah dalam pengertian berpindah dari satu tempat ke tempat yang lainnya. Namun tidak bisa disangsikan lagi, setiap kita – siapapun kita – perlu melakukan hijrah dalam pengertian maknawiyah. Bahkan meskipun kita sudah baik, kita tetap perlu melakukan hijrah, yaitu berhijrah untuk menjadi lebih baik lagi.
Jika 1444 tahun yang lalu Rasulullah saw bersama para sahabat beliau telah berhijrah dari Mekkah ke Madinah demi mengusung misi agama Allah, maka kita yang hidup saat ini juga harus berhijrah: berhijrah dari keadaan yang buruk menuju keadaan yang baik, dan dari keadaan yang baik menuju keadaan yang lebih baik lagi. Bagi seorang muslim, hari ini harus lebih baik daripada kemarin, dan hari esok harus lebih baik daripada hari ini. (ar)