Suudzan Dan Dampaknya

  • Sumo

Allah Ta’ala berfirman (yang artinya): ”Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang (tajassus) dan janganlah pula saling menggunjingkan (ghibah) satu sama lain..” (QS. Al-Hujuraat [49]: 12). Dan Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam bersabda (yang artinya): “Jauhkanlah diri kalian dari prasangka (pada org lain), karena prasangka (buruk) adalah kata-kata terdusta” (HR. Muslim).

Jelas sekali dari ayat dan hadits diatas juga yang lainnya bahwa, suudzan (buruk sangka/prasangka buruk) terhadap orang lain itu buruk sekali, jahat sekali, haram sekali, dan tentu saja dosa besar sekali. Imam Ibnu Hajar memasukkan suudzan (prasangka buruk) terhadap sesama muslim ke dalam kategori penyakit hati berat dan dosa besar batin. Dan jika demikian halnya dengan suudzan, maka kebalikannya, yakni husnudzan (baik sangka/prasangka baik) jelas berarti baik sekali, terpuji sekali, wajib sekali, dan pahalanya juga besar sekali.

Disamping hukumnya yang haram, sifatnya yang tercela dan dosanya yang sangat besar, suudzan juga mengindikasikan keburukan dan kejahatan, serta mengakibatkan beragam dampak negatif yang sangat buruk sekali. Baik itu terhadap diri pengidap penyakit hati tersebut, maupun terhadap orang yang menjadi sasaran dan korban suudzan secara khusus, bahkan terhadap masyarakat dan kehidupan secara umum.

Sementara itu sebaliknya, disamping hukumnya yang wajib, sifatnya yang terpuji dan pahalanya yang amat besar, husnudzan juga mengindikasikan kebaikan dan kemuliaan, serta menghadirkan berbagai dampat positif yang amat indah sekali. Baik itu bagi diri pemilik hati yang mulia itu sendiri, maupun juga bagi pihak yang beruntung mendapatkan sikap husnudzan secara khusus, bahkan bagi masyarakat dan kehidupan secara umum.

Dominannya sikap husnudzan seseorang terhadap orang lain, mengindikasikan dominannya sifat dasar baik dan positif dalam diri yang bersangkutan. Dimana itu juga berarti penunjuk dan gambaran bagi kebaikan hatinya secara umum dan kebersihannya secara relatif dari penyakit-penyakitnya. Sehingga karenanya, orang yang selalu berhusnudzan, biasanya juga memiliki sifat-sifat baik dan sikap-sikap positif yang lain. Seperti misalnya mudah memaafkan, tidak senang menggunjing (ghibah), tidak suka mencari-cari cacat, aib dan keburukan orang, dan seterusnya.

Sedangkan sebaliknya, dominannya sikap suudzan seseorang terhadap orang lain, mengindikasikan dominannya sifat dasar buruk dan negatif dalam diri yang bersangkutan. Dimana itu juga berarti penunjuk dan gambaran bagi keburukan hatinya secara umum dan bercokolnya penyakit-penyakitnya di dalamnya. Sehingga karenanya, orang yang senantiasa bersuudzan, biasanya juga berpotensi mempuanyai sifat-sifat buruk dan sikap-sikap negatif yang lain. Seperti misalnya suka mencari-cari cacat, aib dan keburukan orang, senang menggunjing, tidak mudah memaafkan orang lain yang salah, juga tidak gampang meminta maaf kala salah, dan seterusnya. Oleh karena itu, di dalam surah Al-Hujuraat yang dikutip sebagiannya diatas, larangan berprasangka buruk digandengkan, baik sebelum maupun sesudahnya, dengan larangan terhadap sikap-sikap buruk dan negatif lain yang umumnya hanya muncul dari hati yang buruk dan berpenyakit, seperti: mengolok-olok, mencela, merendahkan martabat, mencari-cari kesalahan orang lain, menggunjing, dan seterusnya.

Tak terpungkiri bahwa, dalam jiwa dan diri setiap manusia itu, terdapat dua sisi atau potensi. Yakni sisi atau potensi baik, positif dan konstruktif, yang di dalam bahasa al-Qur’an disebut dengan potensi taqwa. Dan yang kedua sisi atau potensi jahat, negatif dan destruktif, yang di dalam bahasa Al-Qur’an dikenal dengan potensi fujur (lihat QS. Asy-Syams [91]: 8). Dan perintah atau kewajiban ber-husnudzan/berprasangka baik adalah berarti perintah atau kewajiban agar kita selalu atau lebih banyak melihat sisi baik, positif dan konstruktif tersebut dalam diri orang lain dan masyarakat. Sedangkan larangan atau keharaman ber-suudzan atau berprasangka buruk adalah berarti larangan atau keharaman untuk kita selalu atau lebih banyak melihat sisi jahat, negatif dan destruktif dalam diri orang lain dan masyarakat.

Jika sifat dan sikap saling husnudzan lebih dominan dan merata diantara para anggota suatu masyarakat atau individu sebuah komunitas, maka itu adalah indikasi kuat dan tengara jelas bahwa, masyarakat dan komunitas tersebut adalah masyarakat dan komunitas yang baik, karena terdiri dari anggota-anggota dan individu-individu yang baik serta berhati relatif bersih dan sehat. Dan sebagai pengaruh, dampak dan imbasnya, pastilah ”wilayah” kebaikan, kebajikan dan kepositifan di masyarakat dan komunitas seperti itu, lebih luas dan lebih lebar dibandingkan dengan ”wilayah” keburukan, kejahatan dan kenegatifan, yang boleh jadi terkadang bahkan sampai seakan tidak kebagian tempat di dalamnya!

Adapun sebaliknya, jika sifat dan sikap saling suudzan yang justru lebih dominan dan merata diantara anggota suatu masyarakat atau individu sebuah komunitas, maka itu adalah indikasi kuat dan tengara jelas bahwa, masyarakat dan komunitas tersebut adalah masyarakat dan komunitas yang relatif buruk, karena terdiri dari anggota-anggota dan individu-individu yang relatif buruk serta berhati relatif kotor dan berpenyakit. Dan sebagai pengaruh, dampak dan imbasnya, pastilah ”daerah” keburukan, kejahatan dan kenegatifan di masyarakat dan komunitas seperti itu, lebih luas dan lebih lebar dibandingkan dengan ”daerah” kebaikan, kebajikan dan kepositifan, yang boleh jadi terkadang bahkan sampai seakan tidak kebagian tempat di dalamnya!

Secara lebih khusus dan spesifik, pengaruh sikap husnudzan atau suudzan juga bisa besar sekali terhadap orang atau individu yang menjadi obyek dan sasaran dari sikap husnudzan atau suudzan tersebut. Dimana seseorang yang bisa saja semula memang sebenarnya buruk atau berniat jahat, sangat mungkin akhirnya justru berubah menjadi baik atau mengurungkan niat jahatnya, karena barakah pengaruh positif dari sikap husnudzan terhadapnya. Sebaliknya orang lain yg mungkin saja sebenarnya semula baik atau berniat baik, sangat boleh jadi akhirnya justru berbalik menjadi buruk, akibat dampak negatif dari sikap suudzan terhadapnya. Dan rasanya tak jarang kita bisa dengan mudah mendapati fakta dan realita di tengah-tengah masyarakat, yang membuktikan dan menguatkan hal itu.

Dan sebagai pengingat terakhir sekaligus penutup tausiah ini, penting sekali disadari bahwa, sebagaimana penyakit-penyakit hati dan sosial yang lainnya, sebenarnya sifat dan sikap suudzan itu sangat melelahkan pikiran, sangat menyesakkan dada, sangat menyakitkan hati, dan sangat membebani jiwa dan diri yang bersangkutan sendiri. Sementara itu sebaliknya bahwa, seperti sifat-sifat mulia hati yang lain, sifat dan sikap husnudzan itu sangat melegakan hati, sangat melapangkan dada, sangat meringankan jiwa dan sangat menyenangkan serta membahagiakannya sekaligus. Maka, marilah selalu saling ber-husnudzan, dan enyahkan sikap saling ber-suudzan! Semoga! (AMJ)

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.