Sebagai dalil utama penegas demikian kentalnya ritualitas ibadah dan syariah qurban, kita dapati syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan yang ditetapkan bagi sah dan atau sempurnanya ibadah istimewa ini, mayoritasnya atau bahkan semuanya merupakan kekhasan syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan spesial ibadah ritual spiritual. Dimana seluruh syarat dan ketentuan tersebut sama sekali tidak berlaku dalam sembelihan biasa non ibadah ritual, dan yang sekadar hanya agar daging hasil sembelihan halal dimakan semata. Maka mari kita cermati bersama paparan singkat berikut tentang syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan tersebut.
Tidak seperti syarat jenis sembelihan penghalalan yang sangat sederhana dan simple sekali, syarat-syarat penyembelihan hewan qurban sebagai sebuah bentuk ibadah ritual, sangatlah banyak sekali, detail sekali, dan ketat sekali. Baik itu terkait dengan syarat-syarat keabsahannya, maupun syarat-syarat kesempurnaannya. Pula baik hal itu terkait dengan syarat-syarat ketat seputar jenis hewannya, umurnya, kriteria-kriterianya, batas waktu pelaksanaannya, prosesi penyembelihannya, pemanfaatan dan pendistribusiannya, maupun yang lain-lainnya.
1. JENIS HEWAN QURBAN
Qurban tidak sah kecuali dengan salah satu dari tiga jenis hewan ternak saja, yaitu: unta, sapi (kerbau dimasukkan dalam kategori sapi) dan kambing dengan kedua jenisnya: domba atau kambing kibas dan kambing jawa. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya): “Dan bagi tiap-tiap umat telah Kami syariatkan penyembelihan (kurban), supaya mereka menyebut nama Allah terhadap binatang ternak yang telah direzekikan Allah kepada mereka. Maka Tuhanmu ialah Tuhan Yang Maha Esa, karena itu berserah dirilah kamu kepada-Nya, dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang tunduk patuh (kepada Allah) (QS. Al-Hajj: 34). Imam An-Nawawi dalam Al-Majmu’ berkata: “Sejumlah kalangan menyebutkan adanya ijmak diantara para ulama bahwa, ibadah qurban tidak sah kecuali hanya dengan unta, sapi dan kambing saja. Tidak sah dengan selain tiga jenis itu”. Begitu pula Imam Ibnu Rusyd dalam Bidayatul Mujtahid berkata: “Dan mereka (para ulama itu) seluruhnya telah berijmak bahwa, tidak boleh berqurban dengan selain hewan ternak (unta, sapi dan kambing). Meskipun ada riwayat dari Imam Al-Hasan bin Shaleh bahwa, beliau berkata: Boleh berqurban dengan sapi liar untuk tujuh orang dan juga dengan rusa untuk satu orang”. Dan diantara sedikit sekali ulama yang berselisih pendapat dalam hal ini adalah juga madzhab Dzahiri. Imam Ibnu Hazm dalam kitab Al-Muhallaa mengatakan bahwa, diperbolehkan berqurban dengan hewan apapun yang halal dimakan. Namun madzhab ini sangat lemah sekali, karena menyalahi praktik berabad-abad, dan telah hampir menjadi ijmak, bahkan sebagian ulama telah menyatakannya sebagai ijmak seperti dalam kutipan-kutipan diatas.
2. UMUR HEWAN QURBAN
Selain dibatasi hanya pada tiga jenis hewan ternak yang telah disebutkan itu, ada lagi syarat ketat lain yang menjadi ciri syarat ibadah ritual. Yakni yang terkait dengan batas minimal umur hewan ternak yang boleh dan sah dijadikan qurban. Dimana jika seekor hewan ternak, baik unta, sapi maupun kambing, belum mencapai umur tersebut, maka tidak boleh dan tidak sah sebagai qurban. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda (yang artinya): “Janganlah kalian menyembelih (untuk qurban) kecuali hewan ternak musinnah (yang telah cukup umur). Tapi jika sulit, maka sembelihlah jadza’ah (kambing muda) dari jenis domba” (HR. Muslim). Dan batasan hewan musinnah tersebut, menurut jumhur ulama, kalau dari unta adalah yang telah mencapai umur lima tahun penuh, dari sapi adalah yang telah berumur dua tahun penuh, dan dari kambing adalah yang telah genap satu tahun. Khusus untuk kambing jenis domba sebenarnya terjadi perbedaan pendapat. Dimana menurut madzhab Hanafi dan Hambali, diperbolehkan berqurban dengan domba yang baru berumur enam bulan, namun bagi madzhab Maliki dan Syafi’i tetap harus berumur satu tahun penuh. Dan perselisihan ini terpulang kepada perbedaan pendapat mereka tentang makna dan batas umur domba jadza’ah (domba muda) yang disebutkan dalam hadits diatas dan lainnya. Sehingga demi amannya, untuk kambing sebaiknya ditetapkan dan dipilih saja minimal berumur satu tahun untuk kedua jenisnya.
3. KRITERIA-KRITERIA HEWAN QURBAN
Disamping faktor jenis dan umur, agar sah sebagai sembelihan ritual ibadah qurban, hewan ternak yang dipilih juga wajib memenuhi kriteria-kriteri tertentu terkait dengan kondisi kesehatan fisiknya. Dimana intinya, hewan ternak yang dipih sebagai qurban sebisa mungkin haruslah yang sehat sempurna, atau minimal tidak bercacat, khususnya dengan kecacatan yang nyata, jelas, menonjol dan mencolok. Karena terdapat beberapa jenis kecacatan yang membuat hewan ternak tidak boleh dan tidak sah sebagai qurban. Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam bersabda (yang artinya): “Ada empat kondisi hewan yang tidak sah sebagai qurban: yang cacat mata secara nyata dan jelas, yang pincang secara nyata dan jelas, yang sakit secara nyata dan jelas, dan yang sangat kurus sampai (ibarat) tulangnya tak bersungsum” (HR. Ahmad, At-Tirmidzi, Abu Dawud, An-Nasai, Ibnu Majah, dan At-Tirmidzi berkata: (hadits ini) hasan shahih). Para ulama menyebutkan bahwa, kondisi cacat yang bisa menghalangi sahnya seekor hewan ternak untuk dijadikan sebagai qurban, tidaklah terbatas pada empat jenis tersebut saja. Melainkan bisa juga mencakup kondisi-kondisi cacat lain, dimana tingkat atau sifat kecacatannya sudah masuk kategori sangat jelas, nyata, menonjol atau mencolok.
4. KADAR MINIMAL SAHNYA QURBAN DAN QURBAN PATUNGAN
Batas atau kadar minimal sahnya ibadah qurban bagi seseorang atau satu rumah adalah berqurban dengan seekor kambing, atau dengan sepertujuh unta atau sepertujuh sapi bagi yang berpatungan dengan orang lain. Jadi seekor kambing dengan syarat dan ketentuan yang telah dijelaskan dimuka, hanya sah dijadikan qurban untuk satu orang atau satu rumah saja. Sehingga jika ada dua orang apalagi lebih, berpatungan dalam berqurban dengan seekor kambing, maka itu hanya akan berpahala sebagai sekadar sedekah daging saja di hari raya qurban, akan tetapi tidak sah dan tidak bernilai sebagai ibadah qurban. Begitu pula dengan qurban patungan unta atau sapi, dimana jika jumlah pequrban yang ikut terdaftar di dalamnya melebihi tujuh orang, maka dengan demikian ibadah qurban unta atau sapipun menjadi tidak sah, dan dagingnya yang dibagi-bagipun hanya bernilai dan berpahala sebagai sebatas amal sedekah daging semata.
Sahabat Abu Ayyub radhiyallahu ‘anhu berkata: “Pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dulu, seseorang berqurban dengan seekor kambing atas namanya dan atas nama keluarganya sekaligus. Lalu merekapun ikut makan (dari qurban masing-masing), dan memberikan (sebagiannya) kepada yang lain” (HR. At-Tirmidzi dan Ibnu Majah).
Sementara itu sahabat Jabir radhiyallahu ‘anhu bercerita: Di Hudaibiyah dulu, kami menyembelih bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, seekor unta untuk tujuh orang, dan seekor sapi juga untuk tujuh orang. Dalam lafadz yang lain (dikatakan): Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan agar kami berpatungan dalam menyembelih unta dan sapi, dimana tujuh orang menyembelih seekor dari masing-masing hewan ternak tersebut. Dan dalam redaksi hadits yang lainnya lagi (dituturkan): Maka seekor sapipun disembelih atas nama tujuh orang, dimana kami berpatungan di dalamnya (HR. Muslim).
5. URUTAN KEUTAMAAN QURBAN
Dari aspek dan dimensinya sebagai ibadah ritual, menurut para ulama, urutan keutamaan qurban adalah sebagai berikut. Urutan pertama, berqurban dengan seekor unta untuk satu orang atau satu keluarga serumah; Kedua, berqurban dengan seekor sapi untuk satu orang atau satu keluarga serumah; Ketiga, berqurban dengan seekor kambing kibas atau domba; Keempat, berqurban dengan seekor kambing jawa; Kelima, berqurban dengan seekor unta secara patungan diantara maksimal tujuh orang atau tujuh rumah; Dan urutan keenam, berqurban dengan seekor sapi secara patungan diantara maksimal tujuh orang atau tujuh rumah.
Adapun untuk masing-masing jenis diantara ketiga hewan qurban tersebut, maka yang lebih afdhal, lebih baik dan lebih tinggi nilai ibadahnya, adalah yang lebih sempurna secara kriteria, baik dari aspek gemuk atau besarnya, sehatnya maupun juga tampilannya.
Jadi, dengan demikian, dari sudut pandang, aspek dan dimensi ritual, tujuh orang yang berqurban dengan tujuh ekor kambing misalnya adalah lebih afdhal dan lebih baik daripada tujuh orang lainnya yang berqurban secara patungan dengan seekor unta atau seekor sapi. Dan hal itu, seperti yang telah ditegaskan dimuka, karena esensi ibadah qurban terletak pada prosesi penyembelihan hewan yang diqurbankan. Sehingga jika yang disembelih adalah tujuh ekor kambing, maka berarti disana ada tujuh ibadah qurban. Sedangkan dengan seekor unta atau seekor sapi yang disembelih atas nama tujuh orang lainnya, berarti tetap hanya ada satu saja ibadah qurban disini. Dan tujuh, tentu saja, lebih baik daripada satu!
Tentang urutan keutamaan tersebut, secara umum disimpulkan oleh para ulama dari sabda Baginda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam (yang artinya): ”Barangsiapa berangkat untuk shalat Jum’at di waktu pertama (awal waktu), maka (fadhilahnya) seolah-olah ia berqurban seekor unta. Barangsiapa berangkat di waktu kedua (waktu berikutnya), maka seakan-akan ia berqurban seekor sapi. Dan barangsiapa berangkat pada waktu ketiga (waktu sesudahnya lagi), maka seolah-olah ia berqurban seekor kambing…” (HR. Muttafaq ‘alaih).
Dan di dalam riwayat-riwayat hadits disebutkan bahwa, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam hampir selalu berqurban dengan kambing kibas yang besar, gemuk, sehat, gagah dan berbulu indah. Seperti misalnya di dalam hadits sahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, dimana beliau berkata: Dulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berqurban dengan dua ekor kambing kibas besar yang gemuk, bertanduk dan berbulu putih campur hitam (HR. Al-Bukhari).
6. BATAS WAKTU PENYEMBELIHAN QURBAN
Salah satu hal yang menjadi ciri utama hampir seluruh ibadah ritual dengan berbagai jenisnya, seperti shalat, puasa, haji, dan lain-lain, adalah adanya syarat batasan waktu pelaksanaan. Dimana sebuah ibadah ritual hanya dibenarkan dan disahkan bila dilakukan dalam batasan waktu yang telah ditentukan dan disyaratkan. Begitu pula dengan pelaksanaan ritual ibadah penyembelihan hewan qurban ini. Ada batas awal waktunya, dan ada batas akhirnya. Dimana qurban tidak sah bila dilaksanakan diluar batas waktu tersebut. Tentu yang dimaksudkan adalah prosesi pelaksanaan penyembelihan hewan qurban, karena memang disitulah terletak ritual ibadahnya. Adapun tentang pendistribusian hasil sembelihan qurban, maka waktunya sangat longgar sekali, dan tidak terbatas seperti waktu penyembelihannya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda (yang artinya): “Dulu aku pernah melarang kalian menyimpan daging qurban lebih dari tiga malam. Tapi (sekarang) simpanlah sekehendak kalian” (HR. Muslim).
Adapun tentang batas awal waktu penyembelihan hewan qurban, maka sebagaimana telah disepakati oleh para ulama, adalah seusai penunaian shalat Idul Adha. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda (yang artinya): “Barangsiapa menyembelih hewan qurban sebelum shalat Id, maka harus mengulang lagi” (HR. Al-Bukhari dan Muslim). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda (yang artinya): “Yang pertama kali kita lakukan hari ini (hari raya Idul Adha) adalah shalat Id, lalu pulang untuk menyembelih qurban. Barangsiapa melakukannya, berarti ia telah mengikuti sunnah kita. Dan barangsiapa yang menyembelih sebelumnya (sebelum shalat), maka itu hanya menjadi daging biasa yang diperuntukkan bagi keluarganya, dan sama sekali tidak termasuk sembelihan ibadah (qurban)” (HR. Al-Bukhari dari sahabat Al-Baraa’).
Sedangkan tentang batas akhir penyembelihan yang masih sah sebagai ibadah qurban, maka para ulama berbeda pendapat dalam hal ini. Dimana jumhur imam madzhab, yakni Abu Hanifah, Malik dan Ahmad rahimahumullah, berpendapat bahwa, waktu penyembelihan hewan qurban berakhir pada akhir tanggal 12 Dzulhijjah, yakni hari kedua tasyriq. Sedangkan madzhab Imam Asy-Syafi’i, dan insyaallah ini yang lebih rajih, mengatakan bahwa, waktu penyembelihan adalah selama empat hari sampai akhir hari tasyriq yakni tanggal 13 Dzulhijjah.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda (yang artinya): “Seluruh hari tasyriq adalah waktu penyembelihan (hewan hadyu dan juga qurban). (HR. Ahmad dan Al-Baihaqi dari sahabat Jubair bin Muth’im ra). Dan sahabat Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu berkata: Hari-hari penyembelihan qurban adalah: hari raya idul adha dan tiga hari sesudahnya (Zadul Ma’ad: 2/319).
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah mentarjih madzhab Imam Asy-Syafi’i rahimahullah, dan mengkritik madzhab jumhur, seraya berkata: Karena tiga hari ini (tanggal 11, 12 dan 13 Dzulhijjah) merupakan hari-hari yang dikhususkan sebagai hari-hari Mina, hari-hari pelemparan jumrah, hari-hari tasyriq dan hari-hari haram puasa. Jadi ketiganya “bersaudara” (sama) dalam hukum-hukum ini semuanya. Lalu, mengapa jadi berbeda (menurut madzhab jumhur) dalam hal kebolehan menyembelih dengan tanpa adanya dasar teks dalil ataupun ijmak? (Zaadul Ma’aad: 2/319).
7. LARANGAN MENJUAL KULIT DAN MENJADIKANNYA UPAH JAGAL/BEAYA OPERASIONAL
Diantara ketentuan ritual ibadah penyembelihan hewan qurban adalah larangan bagi pequrban untuk menjual kulit atau bagian apapun dari hewan qurbannya yang disembelih, begitu pula larangan menjadikannya sebagai upah jagal atau beaya operasional. Dan tentu saja hukum larangan inipun tertuju kepada para panitia qurban atau pihak manapun yang menjadi wakil pequrban. Karena, kaedahnya, setiap wakil terikat dengan setiap hukum yang mengikat yang diwakilinya.
Dalam hadits Sayyidina Ali radhiyallahu ‘anhu beliau berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkanku untuk mengurus onta-onta sembelihan (sebagai hadyu atau qurban) milik beliau, dan agar aku membagi-bagikan dagingnya, kulitnya dan bahkan “baju”-nya kepada orang-orang miskin, serta agar aku tidak memberikan sesuatupun dari bagian hewan qurban itu kepada jagal (sebagai ongkos/upah) (HR. Muttafaq ‘alaih). Dan dalam hadits itu pula, beliau bersabda kepada Ali: “Sedekahkanlah “baju” penutupnya dan tali ikatannya , serta janganlah Engkau berikan upah jagal dari bagian hewan sembelihan tersebut”. Dan dalam sebuah hadits yang diperselisihkan derajat riwayatnya: “Barangsiapa menjual kulit hewan qurbannya, maka (seolah-olah) tiada qurban baginya” (HR. Al-Hakim, Al-Baihaqi dan lain-lain dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dihasankan oleh Al-Albani).
Memang masalah inipun khilafiyah diantara para ulama. Dimana minimal ada madzhab Imam Abu Hanifah yang membolehkan jika kulit hewan qurban dijual dan hasilnya disedekahkan kepada fakir miskin. Namun madzhab jumhur (Maliki, Syafi’i dan Hambali) lebih mentarjih keharaman hal itu dan menjadikannya sebagai faktor pengurang kesempurnaan ibadah qurban. Selanjutnya khusus masalah ini silakan baca: Bagaimana Memperlakukan Kulit Hewan Qurban (Qurban Bukan Sedekah Daging: bagian 3).
8. LARANGAN MENCUKUR RAMBUT/MEMOTONG KUKU
Termasuk dalam syarat kesempurnaan ibadah qurban adalah dengan mematuhi hukum larangan bagi pequrban untuk mencukur rambutnya atau memotong kukunya, sejak tanggal satu bulan Dzulhijjah dan sampai hewan qurbannya disembelih. Meskipun dalam hal inipun terdapat perbedaan pendapat antar madzhab. Dimana madzhab Hambali misalnya menyatakan bahwa, tindakan melanggar larangan itu berhukum haram, sementara madzhab Syafi’i menghukuminya makruh saja. Namun bagaimanapun tentu saja semua sepakat sebaiknya sebaiknya hal itu tetap dihindari, agar ibadah qurban bernilai ibadah lebih sempurna.
Baginda Sayyiduna Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda (yang artinya): Jika telah masuk sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah, dan salah seorang diantara kalian hendak berqurban, maka janganlah ia mengambil (mencukur) rambutnya dan (memotong) kukunya sedikitpun sampai qurbannya disembelih)” (HR. Muslim dari Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha).
9. PEMANFAATAN DAN PENDISTRIBUSIAN
Sedangkan terkait dengan aspek pemanfaatan dan pendistibusian hewan qurban setelah disembelih, maka sifatnya sangat longgar sekali. Dimana sang pequrban dan keluarganya boleh (bahkan sunnah) menikmati bagian daging qurbannya, boleh menyimpannya, boleh menghadiahkannya kepada orang yang paling kaya misalnya, bahkan boleh juga termasuk membagikannya kepada anggota masyarakat non muslim sekalipun. Meskipun tentu saja cara terbaik dalam pemanfaatan dan pendistribusian hewan qurban, adalah dengan membagikan dan mensedekahkannya kepada masyarakat fakir miskin dan kaum duafa yang lebih membutuhkan, atau cara-cara lain yang intinya dengan tingkat kemanfaatan dan pemberdayaan yang lebih tinggi, baik dari aspek sosial maupun dari sudut kemaslahatan dakwah Islam.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda (tentang pemanfaatan daging hewan qurban): “Makanlah (sebagian dari daging qurbanmu), bagikanlah (sebagian yang lain), dan simpanlah (sebagian yang lainnya lagi)” (HR. Al-Bukhari dari sahabat Salamah bin Al-Akwa’ radhiyallahu ‘anhu). Dan dalam riwayat lain: “Makanlah (sebagian), sedekahkanlah (sebagian yang lain), dan simpanlah (sebagian yang lainnya lagi)” (HR. Muslim dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha).
Sahabat Buraidah radhiyallahu ‘anhu berkata: Biasanya dulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak berangkat shalat pada idul fitri sebelum beliau makan terlebih dahulu, dan tidak makan pada idul adha sampai beliau pulang (seusai shalat id), lalu baru beliau makan dari daging qurban beliau” (HR. Ahmad).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda (yang artinya): Dulu aku pernah melarang kalian untuk menyimpan (daging qurban) lebih dari tiga hari (karena suatu kondisi tertentu). Akan tetapi (sejak sekarang) simpanlah sekehendak kalian” (HR. Muslim) (H. Ahmad Mudzoffar Jufri, MA)