Pertanyaan: anak itu menjadi tanggung jawab orangtuanya sampai kapan? apakah sampai mereka menikah? atau sampai lulus sekolah? dan bagaimana tanggapan ustadz untuk anak yang tinggal bersama orangtuanya dan masih sekolah (SMA), sudah tidak dikasih uang bahkan untuk makan saja harus beli sendiri? terimakasih atas jawabannya.Jawaban: Seorang ayah berkewajiban untuk menafkahi anaknya, baik itu anak laki-laki ataupun perempuan. Kewajiban menafkahi anak ini ditegaskan dalam Al-Qur’an. Allah swt berfirman:
وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنّ بِالْمَعْرُوفِ
“Dan kewajiban ayah menanggung nafkah dan pakaian mereka dengan cara yang patut.” (QS. Al-Baqarah: 233)
Kadar menafkahi anak tidak ditentukan dalam nominal uang atau ukuran makanan, sebab kebutuhan masing-masing anak berbeda-beda berdasarkan usia dan gaya hidupnya. Namun secara umum, komoditi yang diperlukan oleh anak biasanya meliputi makanan, minuman, pakaian dan tempat tinggal, serta kebutuhan-kebutuhan lain yang bersifat pokok. Selebihnya hanya bersifat sekunder yang hanya wajib jika anak membutuhkannya.
Tidak ada ketentuan perihal batas waktu kewajiban orang tua menafkahi anak, selama anak anak belum mampu untuk menutup kebutuhan pokoknya, maka kewajiban itu tetap mengikat, sehingga ketika anak sudah beranjak dewasa dan telah mampu untuk bekerja yang penghasilannya bisa cukup untuk menutup kebutauhannya, maka orang tua pada saat demikian sudah tidak wajib untuk menafkahinya.
Berbeda halnya ketika anak yang telah mampu untuk bekerja sedang dalam tahap mencari ilmu, sekiranya jika pendidikannya yang ditempuh dengan sambil bekerja, maka pendidikannya akan terbengkalai. Dalam kondisi demikian orang tua tetap wajib untuk menafkahi anaknya.
Hal lain yang menjadikan orang tua tidak wajib menafkahi anak adalah ketika anak telah memiliki simpanan uang yang banyak hingga bisa disebut sebagai orang kaya, misalnya ia memiliki harta dari hasil warisan, maka dalam keadaan demikian orang tua tidak wajib untuk menafkahi anaknya, meskipun sang anak masih kecil. Penjelasan di atas sesuai dengan keterangang yang terdapat dalam kitab Hasyiyah al-Baijuri:
فالغني الصغير او الفقير الكبير لا تجب نفقته – إلى أن قال – وقد استفيد مما تقدم ان الولد القادر على الكسب اللائق به لا تجب نفقته بل يكلف الكسب بل قد يقال انه داخل في الغني المذكور. ويستثنى ما لو كان مشتغلا بعلم شرعي ويرجى منه النجابة والكسب يمنعه فتجب حينئذ ولا يكلف الكسب
“Anak kecil yang kaya atau orang baligh yang fakir tidak wajib (bagi orang tua) menafkahi mereka. Dan dapat pahami bahwa anak yang mampu bekerja yang layak baginya tidak berhak lagi menerima nafkah, sebaliknya ia (justru) dituntut untuk bekerja. Bahkan, ada pendapat yang mengatakan bahwa anak yang mampu bekerja ini masuk kategori anak yang kaya. Dikecualikan ketika anak yang telah mampu bekerja ini sedang mencari ilmu syara’ dan diharapkan nantinya akan menghasilkan kemuliaan (dari ilmunya) sedangkan jika ia bekerja maka akan tercegah dari rutinitas mencari ilmu, maka dalam keadaan demikian ia tetap wajib untuk dinafkahi dan tidak diperkenankan untuk menuntutnya bekerja.” (Syekh Ibrahim al-Baijuri, Hasyiyah al-Baijuri, juz 2, hal. 187)
Ketentuan di atas adalah ketentuan baku perihal batas menafkahi anak sesuai dengan rumusan para ulama’ yang kompeten, meski begitu alangkah baiknya dalam penerapannya, orang tua tetap mempertimbangkan kondisi anak tentang kesiapan mereka untuk hidup mandiri dengan cara bekerja dan tidak bergantung pada orang tua, jika memang secara mental belum siap, atau ia masih belum menemukan pekerjaan yang layak baginya, maka bijaknya orang tua dalam keadaan demikian tetap memberi nafkah pada anaknya, meskipun hal ini tidak wajib, hal ini mereka lakukan dengan tetap mendorong anak agar selalu berusaha hidup secara mandiri.
Demikian, semoga Allah berkenan untuk memberikan kemudahan, taufiq dan ridho-Nya. Wallahu a’lam bishshawaab. – Agung Cahyadi, MA
Sumber: www.konsultasisyariah.net