Salah satu amalan yang utama di bulan Ramadhan adalah i’tikaf. Amalan ini menjadi semakin utama untuk dilakukan ketika Ramadhan sudah memasuki sepuluh hari yang terakhir. Rasulullah sendiri diceritakan tidak pernah satu kali pun meninggalkan i’tikaf. Beliau senantiasa melakukannya hingga wafat. Ini menunjukkan bahwa i’tikaf memang benar-benar amalan yang utama.
I’tikaf berarti berdiam diri di masjid dengan tujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah (taqarrub ilallah). Ketika sedang ber-i’tikaf, seseorang dianjurkan untuk melakukan berbagai ibadah yang kental dengan nuansa transendental, seperti shalat, berdzikir, berdoa, dan membaca Al-Qur’an. Sebagian ulama bahkan memakruhkan kegiatan taklim yang terlalu banyak dilakukan saat i’tikaf. Bukannya karena taklim itu buruk, akan tetapi karena i’tikaf memang seolah-olah khusus untuk ibadah-ibadah yang kental dengan nuansa transendental.
Ketika seseorang ber-i’tikaf, ia tidak boleh barang sedikit pun meninggalkan masjid. Di zaman Nabi, orang yang sedang ber’tikaf biasanya memakan makanan yang sengaja diantarkan oleh kerabatnya ke masjid. Adapun di zaman sekarang, biasanya pengurus atau takmir masjid sengaja menyediakan konsumsi bagi orang-orang yang ber-i’tikaf. Meski seseorang yang ber-i’tikaf harus selalu berada didalam masjid, ia diberikan keringanan untuk keluar dari masjid karena sebab-sebab yang darurat seperti buang air dan semacamnya.
Demikianlah i’tikaf itu. Ia seolah-olah sengaja didesain untuk menambatkan pelakunya pada masjid. Pertama-tama, i’tikaf berusaha untuk menambatkan pelakunya secara fisik dengan masjid. Selanjutnya, ia berusaha untuk menambatkan pelakunya secara nonfisik dengan masjid. Artinya, seorang pelaku i’tikaf tidak hanya secara fisik senantiasa berada di masjid, tetapi hatinya juga senantiasa tertambat pada masjid. Hatinya hanya sibuk dengan ‘urusan masjid’ yaitu dzikrullah ‘mengingat Allah’.
I’tikaf pada bulan Ramadhan sebetulnya diharapkan bisa membekas pada diri pelakunya selepas bulan Ramadhan. Dengan melaksanakan i’tikaf secara intensif, seseorang diharapkan akan menjadi pribadi yang hatinya senantiasa tertambat pada masjid. Bagaimanakah pribadi yang hatinya senantiasa tertambat pada masjid itu?
Orang yang sedang berada di masjid biasanya pasti banyak mengingat Allah. Keimanannya pun meningkat. Nafsu untuk melakukan dosa dan kemaksiatan juga sirna. Nah, seseorang dikatakan hatinya tertambat dengan masjid jika ia tetap seperti orang yang berada di masjid meskipun ia tidak sedang berada di masjid. Tidak hanya di masjid ia banyak mengingat Allah. Dimana saja ia senantiasa ingat kepada Allah. Di tempat kerja, di pasar, di jalan, dan di mana saja.
Tidak mudah mendapati orang yang seperti ini pada zaman edan seperti sekarang. Yang sering kita dapati sekarang ini adalah orang-orang yang khusyuk di masjid tetapi lupa diri ketika sudah meninggalkan masjid. Saleh hanya ketika sedang berada di masjid. Begitu keluar dari masjid, lepaslah segala bentuk kesalehannya. Di masjid ia beribadah dengan penuh semangat kepada Allah. Akan tetapi diluar masjid ia seolah-olah telah menjadi pribadi yang lain: jauh dari ketundukan kepada Allah. Inilah yang sering disebut sebagai pribadi sekuler. Masjid ya masjid. Pasar ya pasar. Kantor ya kantor. Begitu seterusnya. Ia berkata,”Jangan mencampuradukkan urusan masjid dengan urusan pekerjaan. Jangan bawa-bawa agama dalam urusan pekerjaan.” Akibatnya ya seperti sekarang ini. Banyak orang rajin ke masjid, namun banyak juga orang melakukan korupsi. Seringkali yang korupsi itu ya yang ke masjid itu juga.
Karena itu momen Ramadhan yang membuat kita banyak berinteraksi dengan masjid semoga saja bisa mengubah diri kita menjadi pribadi yang senantiasa tertambat pada masjid. Amin. (ar)