Wara’nya Seorang Tabi’in

  • Sumo

Saat-saat bertabur bahagia meliputi diri Sirin di Kota Nabi, ketika ia melangsungkan pernikahan dengan Shafiyah, mantan budak Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu. Delapan belas orang sahabat yang pernah ikut Perang Badar hadir dalam pernikahannya. Kebahagiaan pasangan suami istri ini semakin bertambah ketika kelak Allah menganugerahkan seorang anak kepada mereka. Anak itu mereka namai Muhammad. Muhammad bin Sirin sempat berjumpa dengan tiga puluh orang sahabat Nabi radhiyallahu ‘anhum. Ia telah mengambil banyak ilmu dan hikmah dari mereka. Tidaklah mengherankan jika Muhammad bin Sirin kemudian menjadi seorang ulama yang faqih, berakhlaq mulia dan penuh dengan keteladanan.

Muhammad bin Sirin adalah pribadi yang sangat wara’. Bahkan tidak berlebihan jika dikatakan ia telah mencapai puncak wara’. Muwarriq, salah seorang sahabatnya, berkata,”Aku tidak pernah menemukan seorang pun yang lebih paham tentang wara’ dan lebih wara’ dalam fiqih selain Ibnu Sirin.” Bila Muhammad bin Sirin berada di suatu majelis, ia berbicara, tertawa dan bertanya tentang berbagai hal. Namun bila ia ditanya tentang masalah halal dan haram, berubahlah rona wajahnya sehingga seolah-olah kondisinya baru saja berubah. Ia tidak menyukai debat dalam masalah agama, termasuk juga segala debat yang tidak mengandung kebaikan. Sekali waktu seseorang mendebatnya. Muhammad bin Sirin berkata,”Aku mengetahui apa yang engkau inginkan dan aku lebih tahu tentang perdebatan ini daripada engkau, tetapi aku tidak mau melakukannya.” Sungguh sebuah akhlaq yang sangat agung, yang tidak dapat dijunjung kecuali oleh para ulama. Inilah puncak wara’.

Suatu kali ia bertanya kepada orang-orang,”Apakah wara’ yang paling rendah?” Seseorang balik bertanya kepadanya,”Bagaimana mungkin wara’ itu rendah?” Ia menjawab,”Jika engkau ragu terhadap sesuatu, tinggalkanlah.” Tidak hanya berkata-kata, Muhammad bin Sirin benar-benar mengamalkan pesannya sendiri. Hisyam bin Hisan rahimahullah bercerita,”Suatu ketika, Muhammad bin Sirin membeli sesuatu. Dia melihat bahwa dia akan mendapat keuntungan yang besar, yakni sebesar delapan puluh ribu. Karena muncul keraguan dalam hatinya, ia mengurungkannya.” Hisyam berkata,”Demi Allah, padahal itu sebenarnya tidaklah tergolong riba.” Demikianlah, Muhammad bin Sirin benar-benar telah mencapai puncak sifat wara’, melebihi orang-orang lain sezamannya. Karena ketinggian sifat wara’-nya pula, Allah Ta’ala telah menganugerahi Muhammad bin Sirin firasat yang sangat kuat. Ia adalah sosok yang tidak ada duanya dalam menakwil mimpi. Namun seberapapun tinggi keistimewaan seorang Muhammad bin Sirin, ia tidak bisa lepas dari ketentuan Allah: kematian. Ia meninggalkan dunia fana pada tahun 110 H atau 110 hari setelah kematian Hasan Al-Bashri, salah seorang tabi’in terkemuka yang sezaman dengannya. Dia menghadap Tuhannya untuk menjumpai balasan amal kebaikannya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.