Benarkah 10 hari pertama bulan Dzulhijjah semulia itu sampai bahkan mungkin bisa mengungguli kemuliaan hari-hari bulan Ramadhan, atau minimal setara dengannya? Mengapa hal itu sepertinya tidak begitu dikenal di tengah-tengah mayoritas ummat Islam, sehingga karenanya sikap merekapun biasa-biasa dan datar-datar saja, tanpa ada yang tampak istimewa seperti yang umumnya ditunjukkan dalam menyambut bulan suci Ramadhan?
Nah untuk menjawab pertanyaan diatas, mari kita cermati bersama sabda Baginda Sayyidina Rasulillah shallallahu ‘alaihi wasallam (yang artinya) berikut ini: Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda: ” Tiada hari, dimana beramal shalih padanya lebih Allah cintai selain hari-hari ini”, yakni 10 hari pertama bulan Dzul Hijjah. Para shahabat bertanya: wahai Rasulullah, apakah termasuk jihad fi sabilillah juga tidak bisa (menandingi)?, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Termasuk jihad fi sabilillah sekalipun tidak bisa (menandingi), kecuali seorang lelaki yang pergi berjihad dengan jiwa dan hartanya sendiri lalu tidak ada sesuatupun darinya yang kembali, yakni sampai gugur sebagai syuhada’” (HR. Al-Bukhari, At-Tirmidzi, Abu Dawud, Ibnu Majah dan Ahmad).
Mari perhatikan, demikian tingginya tingkat kemuliaan 10 hari pertama bulan Dzulhijjah tersebut, sampai-sampai jihadpun bisa kalah dalam derajat dan nilai pahala bila dibandingkan dengan amal saleh apapun, sekali lagi amal saleh apapun, yang dilakukan oleh seorang hamba muslim pada hari-hari tersebut. Padahal kita semua tahu, betapa tinggi nilai jihad fi sabilillah di dalam Islam dan derajat mujahid di sisi Allah Ta’ala. Tapi toh hanya ada satu kondisi mujahid saja yang derajat dan nilai pahala jihadnya bisa mengungguli amal saleh pada 10 hari pertama Dzulhijjah, yang memang merupakan puncak derajat seorang mujahid di jalan Allah. Yaitu seorang mujahid yang memenuhi 3 kriteria: pertama, ia berangkat sendiri ke medan jihad; kedua, seluruh perbekalan jihadnya dari harta miliknya sendiri; dan ketiga, ia berjihad sampai gugur sebagai syuhada. Sehingga jihad seorang mujahid yang sampai mati syahid tapi perbekalan jihadnya dari harta orang lain, atau mujahid yang berangkat jihad dengan diri dan hartanya sendiri namun tidak sampai gugur sebagai syuhada, atau bahkan yang berjihad dengan diri dan hartanya sendiri, serta mati syahid, akan tetapi masih ada dari perbekalan jihadnya, misalnya pedangnya atau baju besinya, atau kudanya dan lain-lain, yang masih bisa dibawa pulang kembali dari medan laga jihad. Ya semua kondisi mujahid yang pasti sangat luar biasa keistimewaannya itu, tetap saja tidak bisa menandingi dan mengungguli keistimewaan, keutamaan dan kemuliaan amal saleh pada 10 hari pertama bulan Dzulhijjah seperti yang tengah kita lewati ini! ALLAHU AKBAR!
Mungkin karena begitu mulianya10 hari pertama bulan Dzulhijjah tersebut, maka Allah Ta’ala sampai bersumpah dengannya, dalam firman-Nya (yang artinya): “Dan demi malam-malam yang sepuluh” (QS. Al-Fajr 89: 2), yang menurut Imam Ibnu Katsir dan jumhur mufassir lain rahimahumullah, maksud tafsirnya yang benar adalah 10 malam pertama bulan Dzulhijjah.
Dan ada satu dalil kuat lagi yang bisa menjadi faktor penegas luar biasanya keistimewaan 10 hari pertama bulan Dzulhijjah ini. Yakni bahwa, para ulama sampai berselisih pendapat tentang mana yang lebih mulia, utama dan istimewa antara 10 hari pertama bulan Dzulhijjah dan 10 malam terakhir bulan Ramadhan yang di dalamnya terdapat malam lailatul qadar. Dimana sebagian ulama berpendapat bahwa, 10 hari dan malam pertama Dzulhijjah yang lebih mulia, dan sebagian yang lain mentarjih bahwa, 10 malam dan hari terakhir Ramadhanlah yang lebih istimewa. Dan pendapat yang lebih rajih, kuat dan tepat insya-allah adalah yang memadukan antar dalil keduanya. Dimana untuk waktu malamnya, 10 malam akhir Ramadhan adalah yang paling utama sepanjang tahun bila dibandingkan dengan semua malam yang lain termasuk 10 malam pertama bulan Dzulhijjah. Sementara itu untuk waktu siangnya, 10 hari pertama Dzulhijjah adalah yang termulia dibanding seluruh hari yang lainnya termasuk hari-hari bulan Ramadhan seluruhnya.
Oleh karena itu semua, seharusnya sikap kita dalam mengistimewakan hari-hari termulia ini dengan amal-amal yang serba istimewa, utamanya untuk waktu siangnya, minimal seperti dan setara dengan sikap pengistimewaan kita terhadap bulan suci Ramadhan setiap tahun. Jika demikian, lalu apa sikap yang harus kita tunjukkan dan amal serta ibadah apa sajakah yang sebaiknya kita kerjakan dalam upaya mengistimewakan 10 hari pertama bulan Dzulhijjah ini? Berikut ini disebutkan beberapa poin sekadar sebagai pengingat, semoga bermanfaat:
- Hal pertama yang harus dilakukan oleh setiap muslim dalam konteks ini adalah, menumbuhkan, menjaga dan meningkatkan keyakinan, kesadaran serta perasaan akan mulia, utama dan istimewanya 10 hari pertama bulan Dzulhijjah ini.
- Memiliki dan menyimpan kejujuran niat, kesungguhan tekad dan ketinggian semangat untuk benar-benar mengistimewakan hari-hari teristimewa ini dengan bermacam ragam amal dan ibadah yang serba istimewa, demi mengharap derajat taqwa dan nilai pahala nan istimewa pula. Serta bermujahadah sebisa mungkin untuk tidak melewatkan sedikitpun dari waktu-waktunya secara sia-sia.
- Menguatkan dan meningkatkan kepekaan rasa kewaspadaan keimanan, dengan senantiasa berupaya keras untuk menghindarkan diri dari berbagai bentuk kemaksiatan dan pelanggaran syar’i pada hari-hari termulia tersebut, baik dalam bentuk meninggalkan kewajiban maupun dengan melakukan yang dilarang dan diharamkan.
- Karena amal yang diistimewakan pada 10 hari pertama bulan Dzulhijjah, berdasar hadits Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma diatas, tidak dibatasi pada jenis amal tertentu, maka pada prinsipnya amal atau ibadah apapun, sekali lagi amal saleh dan ibadah apapun, baik yang bersifat ritual, sosial maupun lainnya, sesuai situasi, kondisi, kebutuhan dan kesanggupan masing-masing kita, bisa saja dilakukan dan sekaligus berpotensi untuk menjadi amal yang paling dicintai oleh Allah Ta’ala, yang tentu saja berarti akan bernilai pahala super istimewa tiada tara. Dan itu meliputi (sekadar contoh) misalnya: shalat, zakat, infak, sedekah, dakwah, mencari nafkah, menuntut ilmu atau mengajarkannya, juga membaca Al-Qur’an, mempelajarinya dan mengajarkaannya, berdzikir, beristighfar dan berdoa, berbakti kepada orang tua, menyambung tali silaturrahin dengan keluarga dan lainnya, membantu sesama, berbagi hikmah dan kebajikan dimana serta kepada siapa saja, dan seterusnya dan seterusnya.
- Jika amal yang lebih diutamakan pada sepuluh malam terakhir Ramadhan adalah ibadah-ibadah spesial malam hari, seperti qiyamullail atau tahajjud, tadarus Al-Qur’an, itikaf, dzikir, doa, munajat, istighfar, dan semacamnya, maka yang lebih diistimewakan pada 10 hari pertama Dzulhijjah ini adalah jenis-jenis amal ibadah spesial siang hari, dan salah satu yang paling utama tiada lain adalah ibadah puasa. Maka disunnahkan dan dianjurkan agar setiap muslim memperbanyak puasa pada 10 hari ini, tentu saja kecuali tanggal 10-nya yang merupakan hari raya Idul Adha, dan yang memang diharamkan puasa padanya. Namun untuk ibadah puasa ini terbagi dua, yakni yang berifat umum dan khusus. Yang umum adalah puasa dari anggal 1 – 8 Dzulhijjah, dimana kesunnahannya tidak berdasarkan dalil khusus, melainkan mengacu pada keumuman hadits Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma dimuka, dimana setiap amal saleh pada 10 hari pertama Dzulhijjah adalah yang paling dicintai oleh Allah Ta’ala. Dan sudah barang tentu ibadah puasa menempati peringkat utama dan istimewa dalam daftar amal saleh yang disebutkan itu. Apalagi, seperti yang telah disebutkan, yang lebih utama dari 10 hari pertama Dzulhijjah itu adalah waktu siangnya, dan puasa merupakan salah satu jenis amal ibadah spesial siang hari yang teristimewa. Oleh karenanya dalam kitab Riyadhus Shalihin, Imam An-Nawawi rahimahullah menulis bab khusus dengan judul: Fadilah Puasa dan Amal-amal Lain Pada 10 Hari Pertama Dzulhijjah, lalu beliau menyebutkan hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu, yang telah dikutip dimuka. Adapun puasa yang bersifat khusus dengan dalil khusus dan fadilah khusus pula, adalah puasa hari Arafah, yakni pada tanggal 9 Dzulhijjah. Dimana saat ditanya tentang fadhilah dan keutamaan puasa hari wuquf di Arafah (bagi selain jamaah haji), Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Ia bisa menghapuskan (dosa) satu tahun yang telah berlalu dan (dosa) satu tahun lagi yang akan datang” (HR. Muslim dari sahabat Abu Qatadah radiyallahu ‘anhu).
- Memperbanyak kumandang takbir, tahlil dan tahmid dengan suara keras di rumah-rumah, masjid-masjid, jalan-jalan, pasar-pasar dan lain-lain, pada 10 hari pertama bulan Dzulhijjah ini. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda (yang artinya): “Tiada hari yang lebih agung bagi Allah, dan amal saleh padanya lebih dicintai oleh-Nya, dibandingkan 10 hari (pertama Dzulhijjah) ini. Maka perbanyaklah padanya ucapan tahlil, takbir dan tahmid” (HR. Ahmad dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, dan dishahihkan sanadnya oleh Syaikh Ahmad Syakir rahimahullah). Imam Al-Bukhari rahimahullah menyebutkan bahwa, sahabat Ibnu Umar dan Abu Hurairah dulu biasa pergi ke pasar pada 10 hari pertama bulan Dzulhijjah seraya mengumandangkan takbir, sehingga masyarakatpun bertakbir mengikuti takbir keduanya. Itu untuk tuntunan takbir yang bersifat umum. Adapun untuk praktik takbir yang bersifat khusus terkait dengan syiar hari raya Idul Adha, maka menurut jumhur ulama disunnahkan agar dilakukan mulai selepas shalat subuh pada hari Arafah (tanggal 9 Dzulhijjah) sampai shalat asar hari terakhir tasyriq (tanggal 13 Dzulhijjah), dimana ucapan takbir dikumandangkan pada setiap usai shalat fardhu dan diutamakan pada pagi hari raya Idul Adha saat seseorang berangkat ke tempat shalat Id.
- Menyembelih hewan qurban, dengan motivasi utama sebagai sebuah bentuk ibadah ritual persembahan kepada Allah, bukti penghambaan dan syiar deklarasi kemurnian tauhid kepada-Nya, dan bukan dengan sekadar niat bersedekah daging. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda (yang artinya): “Tiada satu amal pun yang dilakukan seseorang pada Yaumun-Nahr (hari raya qurban) yang lebih dicintai oleh Allah daripada mengalirkan darah (hewan qurban yang disembelih). Maka berbahagialah kamu dengannya” (HR. At-Tirmidzi, Ibnu Majah dan Al-Hakim dengan sanad yang shahih).
- Mengikuti shalat Idul Adha, dan mendengarkan khutbah seusainya. Adapun bagi kaum perempuan yang berhalangan, maka dianjurkan untuk tetap turut menghadiri penyelenggaraan shalat, meskipun tentu tidak boleh mengikutinya, melainkan untuk mendapatkan siraman rohani dan pencerahan ilmu dari khutbah yang disampaikan, serta sekaligus untuk turut menyemarakkan, memeriahkan dan meramaikan suasana hari raya sebagai momen kegembiraan ummat Islam dan syiar kebersamaan serta persatuan kaum muslimin. Sedangkan ketika hari raya qurban jatuh pada hari Jum’at, seperti yang akan datang ini, maka bagi yang mengikuti shalat Id diberi rukhshah (keringanan) untuk tidak menghadiri shalat Jum’at, dan cukup melakukan shalat dzuhur saja seperti hari-hari lain. Namun meskipun begitu, lebih baik baginya jika tetap turut menunaikan shalat jum’at bersama kaum muslimin yang mengadakannya. Sedangkan bagi penanggung jawab atau takmir masjid jami’, yakni masjid yang biasa didirikan shalat jum’at di dalamnya, diharuskan tetap menyelenggarakannya, agar bagi kaum muslimin yang ingin, bisa berkesempatan untuk menjalankannya. Karena saat terjadi shalat Idul Fitri pada hari Jum’at, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda (yang artinya): “Telah berhimpun pada hari kalian ini dua hari raya. Barangsiapa yang ingin, maka (shalat Id) telah cukup baginya untuk mewakili shalat Jum’at. Namun kami tetap akan menyelenggarakannya” (HR. Abu Dawud, Ibnu Majah, Al-Baihaqi, Al-Hakim dan lain-lain, dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu).
- Dan last but not least, tentu saja amal ibadah paling agung dan tertinggi pada bulan Dzulhijjah ini, bagi yang mampu dan berkesempatan, tiada lain adalah ibadah haji dan umrah di Tanah Suci Mekkah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda (yang artinya): “Ibadah umrah satu ke umrah yang lain adalah penghapus dosa antara keduanya, dan haji yang mabrur itu tiada balasan baginya kecuali Surga” (HR. Muttafaq ‘alaih). Demikian, wallahu a’lam. Wallahul Muwaffiq ila aqwamith-thariq. Wa Huwal Hadi ila sawa-issabil. (AMJ)